Menjadi manusia adalah menatap segala yang datang dari depan, katamu. Dulu sekali. Kemudian aku percaya.
Sebab itu, aku merampungkan banyak persiapan. Semacam latihan agar selalu menatap kedepan, sebisa mungkin menembus cakrawala. Latihan, sebab hasil instan, hanya relevan demi hidup yang tak layak diperjuangkan, katamu lagi.
Ketika cakrawala tertutupi senja yang melenakan atau diselubungi kabut keragu-raguan, jangan pernah menunduk, apalagi menutup mata. Dan, jangan sekali-kali merencanakan berbalik arah.
Lagi pula, kita adalah sepasang dalam perjalanan ini. Mengapa bimbang?
Karena itulah, melewati hari-hari adalah juga kesempatan berbagi cara memandang ke depan dan pertukaran gairah yang tak pernah padam. Gairah itu, mendorong kita terus yakin bahwa kita berdua tak akan pernah batal menjadi manusia. Cara memandang, tentulah, membuat kita sebagai manusia yang tumbuh, dewasa.
Kedai kopi yang remang, gedung bioskop yang suram, museum yang kosong berdebu, perpustakaan dengan penjaga terkantuk-kantuk, hingga trotoar jalanan yang basah seusai gerimis adalah bagian-bagian dari lanskap kota yang menemani kita. Di tempat-tempat ini, kita menyadari jika setiap kenangan tidak dipelihara oleh kehadiran.
Kehadiran adalah bagian yang memiliki akhir, sebanyak apapun kita bersetia kepadanya. Makanya, katamu, kita tidak berjuang untuk akhir yang meremuk redam.
Pada bagian ini, aku sedikit kurang setuju. Tak ada kamu sehari saja, angan-anganku kosong, rencana-rencanaku tak memiliki arah. Agh.
Kita berjuang agar tidak dilupakan, katamu lagi. Bagaimana bisa menolak lupa tanpa merawat kehadiran?
Seiring waktu, nanti kamu paham. Dan, seperti kemarin, kamu masih seperti kepul aroma kopi di pagi hari. Selalu kuat menanam sensasi di pikiran.