Kita melihat Goenawan Mohamad menangis, setidaknya dua kali---di Rosi, dan di Mahkamah Konstitusi.
Ia patah hati, mungkin paling pedih sepanjang pergulatan (politik) dari Orde Lama hingga hari-hari ketika ia telah menjadi sesepuh bangsa. Seolah-olah, dari masa lalu hingga hari ini, politik tampaknya tak pernah pergi dari pabrikasi pesimisme.
Mengapa jadi senelangsa begini? Apa yang tidak dia waspadai dari tiga zaman, siklus kekuasaan dan manusia?
Jujur saja, kita tak yakin terlatih menghindari. Walau sudah enggan berintim-intim pada politik-pikiran-praktis, terutama demi pemujaan berlebih.
Namun, rasa-rasanya, yang paling niat dari itu semua, kejelataan kita yang rapuh ini tampaknya telah pula tiba pada kebosanan yang membakar dirinya sendiri.
Dari ketinggian istana sampai gang kecil yang setiap waktu mengabadikan sepi, kekuasaan hanyalah rumah cermin: semua yang ada di dalamnya tak melihat yang bukan dirinya. Mencari bangsa di sini adalah sejenis kesia-siaan!
Lalu kemarin hari, atau persisnya 3 hari sebelum kemarin ada sebuah rekaman. Semacam jawaban mengapa dan demi siapa, Si Maarten Paes memilih negeri ini.
Di wawancara itu, kiper 190 centi ini menghidupkan sentimentalisme. Mengapa manusia ada ingin membahagiakan yang sudah tiada.
Maka Indonesia bagi Paes, mula-mula mungkin bukanlah bangsa. Tapi kasih sang nenek, yang pernah hidup di Kediri.
Adakah kau berpikir? Beginilah cara masa lalu berterimakasih.