Bukanlah sepak bola itu sendiri yang (bisa) bikin emosi kita mendayu-dayu.
Selasa malam, sejatinya, kita melihat timnas yang ngeselin. Performa mereka, sebagai kolektivitas, tidak seimpresif saat memaksa hasil imbang dengan Arab Saudi yang dilatih oleh Roberto Mancini.
Mancini bukan saja berhasil membuat Italia ke puncak penguasa Eropa. Mantan pemain Sampdoria juga pelatih Man City sebelum rezim Pep Guardiola ini adalah figur kunci dari transisi Italia kepada sepak bola menyerang. Meninggalkan pelan-pelan gaya catenaccio yang membosankan.
Atau mungkin lebih tepatnya, pendekatan Roberto Mancini sukses memberi filosofi yang lebih segar kepada sepak bola Italia. Saat bersamaan, klub-klub Serie A adalah semenjana Eropa, tak pernah lagi memenangkan Liga Champion.
Tentu saja, Arab Saudi bukanlah Italia dalam segala hal.
Dan, timnas kali ini pun sama statusnya. Mereka berbeda dalam banyak hal dengan yang sudah-sudah: anak-anak muda, kebanyakan di bermain di luar negeri, dan dilatih orang Korea Selatan.
Di Saudi, anak-anak muda beragam asal-usul ini bermain solid.
Dalam bertahan, tak banyak celah yang bisa dieksploitasi. Sementara saat menyerang, mereka lebih taktis (penguasan bola cuma 30% dengan jumlah operan 313 kali) dan tak memainkan long passing yang lebih mirip sepak bola mati akal.
Di GBK yang riuh dengan 80ribuan pemuja yang bangga, performa yang sama tak lagi mengada.
Australia yang dikalahkan Bahrain (yang kelasnya sudah selevel timnas kita) tampil dominan. Indonesia terkurung dimana-mana, operan pendek taktisnya mati gaya.