Eka Kurniawan akhirnya menulis lagi novel yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama.
Sampulnya agak unik, tidak seperti yang sebelumnya. Judulnya pun lebih mirip plesetan, Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong.
Saat membaca judulnya, saya merangkai praduga. Kali ini, Tuan Eka sedang mengisahkan apa?
Sesungguhnya, saya menaruh curiga jika novel ini adalah fabel yang kaya, yang kisahnya bermain-main di antara realisme dan surealisme. Masih terbayang kisah seekor monyet di dalam "O"yang juga dikarang Eka (2016).
Sebab itu, pikir saya, Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong adalah semacam isyarat akan zaman yang bertukar kebiasaan, sekurangnya bertukar peran. Dan bisa pula bermaksud mengirim pesan tentang zaman dalam ketidaklaziman, sejenis ketakpatuhan.
Artinya, ini tentang cerita dimana nilai, norma atau kebiasaan lama pelan-pelan ditinggalkan.
Jadi tak ingin lama disiksa penasaran, di tengah kesulitan menyelesaikan membaca novel, saya perlahan khusyuk ke halaman demi halaman novel yang tipis ini sebelum tidur. Di hari pertama, saya baru sempat menyelesaikan dua bab, kemudian melanjutkan lagi di antara waktu senggang jam kerja.
Apa yang saya baca?
Premis novel ini adalah kisah seorang remaja yang sedang muak dengan hidup religius (kesalehan individu) dan figur Bapak yang serba mendisiplinkan, kalau bukan otoriter.
Dalam keluarga yang semacam ini, sang tokoh berinteraksi dengan lingkungan sekolah atau pergaulan remaja yang mulai tak sepenuhnya patuh.