"btw aku buka joki strava yahh!! tapi yang lari sodaraku yang jago larii, price menyesuaikan pace, km dan dl yahh!! bisa dm akyuuu..,- @hahahiheho (sebagaimana diberitakan CNN Indonesia).
Begitu mengetahui ada tawaran "Joki Strava" untuk jiwa-jiwa yang berkebutuhan eksis berolahrga tapi tanpa merasakan tantangannya yang autentik, saya terpikir jika gejala ini hanyalah bentuk lanjutan dari apa yang sudah ada sebelumnya.
Bentuk lanjutan itu bermakna jika tawaran seperti ini sama saja kondisi di masa awal pertumbuhan Twitter (kini X).
Di Twitter dulu, misalnya, ada akun yang menawarkan jasa memperbanyak pengikut bersamaan. Jasa semacam ini bergandeng tangan dengan dengan kecenderungan produksi akun anonim; semacam peternakan pengikut (followers farm).
Tawaran ini, anehnya, memiliki ceruk pasarnya. Sebab itu, seharusnya bisa diperkirakan dari awal. Tapi, masalahnya tidak di sini, bukan?
Masalah utamanya, rasa-rasanya, dari terbentuknya ceruk pasar yang berfungsi seolah lubang hitam (black hole) bagi jasa absurd di atas hanya dan hanya mungkin diakibatkan oleh psikologi massa yang dilahirkan oleh persilangan antara narsisus dan pemujaan kepalsuan di era sosial media.
Psikologi massa yang ajaib serupa ini memiliki daya hidup tambahan melalui teknologisasi yang mencampuradukan yang real dan yang non-real, sejenis hiperrealitas dalam bahasa kritikus Posmodern.
Ujungnya, batas yang memisahkan sensasi dari esensi atau sebaliknya, akhirnya bakalan tunduk pada komodifikasi.
Kita bisa melihatnya pada konteks sederhana berikut.
Bagi akun dengan pengikut bejibun yang real, status mereka naik level menjadi influencer. Jika di Instagram, maka ia menjadi selebgram: mereka yang mula-mula bukan pesohor industrial namun karena produksi konten berhasil menjaring pengikut gede.
Pada level yang setingkat ini, eksis sebagai influencer atau selebgram, adalah kesempatan terbuka bagi komodifikasi.