Mister Massimiliano Allegri bukanlah semacam antiklimaks proyek dalam sejarah Juventus, apalagi terhadap sejarah karirnya. Ada yang lebih mencemaskan dari kisah pemecatannya yang dramatik.
Dia baru saja dipecat manajemen klub sesudah mengunci gelar juara Coppa Italia di Olimpico, Roma, pada 15 Mei. Sedang di papan klasmen, Juventus tengah berada di peringkat keempat dan masih harus berjuang menang agar tidak terlempar dari kasta Liga Champion.
Sebagaimana ramai diberitakan, proyek Allegri diakhiri petinggi klub dengan justifikasi yang normatif, etis.
"Pemecatan dilakukan menyusul perilaku tertentu selama dan setelah final Coppa Italia yang dianggap klub tidak sesuai dengan nilai-nilai Juventus, dan perilaku yang seharusnya dilakukan oleh mereka yang mewakilinya," demikian pernyataan klub mengutip berita di Kompas.com.
Bagi saya, pemecatan ini terasa sarat akumulasi kekesalan petinggi walau tentu saja klub tidak bakalan mengatakan itu.
Dengan menjadikan perilakunya yang agresif di sebuah rentang waktu yang pendek sebagai dalih lo-gue end!, maka cara berpikir petinggi klub hanyalah sejenis ketidak-etisan yang lain. Semacam aksi: buruk muka cermin dibelah.
Terutama jika keputusan yang semestinya dilakukan sejak awal musim diperhadapkan dengan catatan rekor yang diwariskan Allegri yang karena itu membuat marwah klub dengan umur 127 tahun ini tetap menjadi raksasa di Italia dalam 15 tahun terakhir.
Warisan Rekor. Di sepanjang sejarah Coppa Italia, misalnya. Max Allegri adalah pelatih tersukses. Orang ini telah menjuarai ajang ini sebanyak 5 kali, paling banyak dan semuanya ketika bersama Juventus.
Tentu saja pencapaian paling prestisius darinya adalah pada periode pertamanya di Juventus (musim 2014-2019).
Menjalani pengharapan sebagai suksesor Antonio Conte, dicemooh fans di permulaan musim, ia berhasil melampaui kisah dominasi Old Lady yang sudah diletakkan. Allegri memberikan 5 gelar juara Seria A beruntun. Ketidaksempurnaannya karena dua final liga Champions yang gagal.