Betapa bodohnya diriku telah menyakitimu
Kurelakan dirimu untuk melangkah
Karena ku tak pernah berubah --Firasat, Sundancer
Awal 2021, saya membeli 24 Jam Bersama Gaspar lewat toko online. Novel yang dikarang Sabda Armandio Alif, diterbitkan oleh Mojok di tahun 2017.
Saat membaca Gaspar, bumi manusia sedang dimangsa pandemi Covid-19, tak terkecuali di kota kecil seperti Sampit, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Saya sendiri sedang dilanda jenuh tetapi tugas belum selesai.
Jadi, di siang yang gerah, di dalam kamar kos-kosan, saya tersedot ke dalam setiap halaman kisah Gaspar. Saya jarang sekali bisa membaca novel seperti ini. Atau lebih persisnya, sepengalaman saya, tidak banyak novel yang mengakibatkan pembacanya tersedot, enggan berhenti dan dibalut kenikmatan di akhir.
Apalagi jika naskahnya dikarang oleh seseorang yang tidak cukup dikenal---maksud saya, berbeda daya tariknya ketika saya berhadapan dengan karangan yang dibuat Eka Kurniawan.
Begitulah dengan Gaspar dan Sabda Armandio, saya nyaris tidak memiliki referensi apapun tentang keduanya. Namun cerita Gaspar memaksa saya membacanya nyaris tanpa ingin berhenti. Saya merasa, dengan preferensi selera yang sederhana tentu saja, bersyukur karena baru selesai membaca novel yang bagus. Cakep.
Saya memiliki keinginan menulis novel. Tentang anak muda perantau, idealisme dan kemarahan pada nasib berbangsa, perseteruan politik dan kekerasan negara, asmara yang sederhana dan malang yang menyatukan dua entitas kultur. Tapi saya tidak yakin ini akan dikerjakan bagaimana. Saya hanya tahu jika judulnya Delete Contact.
Kemudian di suatu waktu, ketika saya sudah melupakan perjalanan Gaspar, beredar kabar versi filmnya sedang dikerjakan dan bakal tayang di platform Netflix.
Versi film ini disutradarai Yosep Anggi Noen. Sutradara yang satu ini adalah sosok yang mengerjakan Istirahatlah Kata-kata (2017), yang berkisah tentang hidup penyair Wiji Thukul. Sedang skenario Gaspar ditulis Mohammad Irfan Ramli.