Tanpa hujan, apalah
Bandung di kenanganmu?
Sepasang sepatu lusuh
bercakap kepada jendela.
Bertahun-tahun mereka
tidak pernah serisau ini;
hanya teronggok dalam debu
dan dimangsa sepinya sendiri-sendiri
Di masa pensiun, sepasang sepatu mendadak sangsi,
Dari jendela, mereka melihat gerimis acak-acakan.
Seperti nasib yang sepanjang tahun
mengikuti kepala para pencari.
Dalam mimpi, mereka selalu pulang,
dibaringkan kekalahannya yang rumpang.
Mungkin sebuah Jakarta
yang belakangan diciptakan:
macet, terburu-buru,
dan sulit sekali tersenyum.
Memikul kota, terus saja berlari.
Sedang bayang-bayangnya sendiri,
patah hati mengikuti. Tidak ada yang berhenti.
Bagaimana kita—
tanpa kesementaraan?
--Sukaluyu, Januari 13--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H