Di tengah tawaran antara keberlanjutan dan pembaharuan, tesis dan antitesis koalisi politik--walau kita tahu itu dikotomi ini segera akan tampak sebagai slogan kosong kekuasaan belaka--sang Presiden bicara tentang sarapan paginya yang memicu kontroversi, pembelaan dan kritik.
Tentu bukan sarapan pagi jelata seperti saya dan Anda yang rutinitasnya adalah linimasa sosial media atau dinding Kompasiana. Sarapan pagi sehari-hari seorang kepala negara bahkan di hari-hari terakhirnya adalah data dan analisis intelijen.
Ini adalah level sarapan yang menunya adalah sekumpulan informasi, proyeksi, rekomendasi, tentang situasi yang tidak banyak dibicarakan media pemburu klik, televisi pemburu sensasi, dan apalagi netizen penganut jalan tanggung konspirasi. Menu dengan pembicaraan tentang apa yang tak tampak di permukaan namun bergerak dalam diam.
Level sarapan bukan saja membedakan posisi kita yang berbeda dalam hirarki kekuasaan, walau konon yang seperti saya adalah sumber mandatnya. Tapi yang sama pentingnya adalah otoritas dan legitimasi yang melekat padanya.
Itu sebenarnya bermakna sarapan pagi Presiden bukanlah hal yang luar biasa, seperti yang disampaikan para pembantunya. Sarapan tersebut menjadi tidak biasa karena diceritakan kepada khalayak, di muka orang banyak.
"Saya tahu dalamnya partai seperti apa saya tahu, partai-partai seperti apa saya tahu. Ingin mereka menuju ke mana juga saya ngerti," kata sang Presiden di depan peserta Rapat Kerja Nasional Sekretariat Nasional (Seknas) di Hotel Salak, Bogor, Sabtu (16/9/2023).
Pernyataan tentang jeroan partai yang bersumber dari analisa intelijen bukan satu-satunya hal yang disampaikan di rapat tersebut.
Presiden terutama sekali bicara tentang suksesi kepentingan nasional dan ambisi negeri ini menjadi negara maju. Menjadi negara post-kolonial sekaligus post-otoritairan yang tidak mengulang pengalaman kelam negara-negara di Amerika Selatan.
Negara-negara di kawasan yang melahirkan perselingkuhan intelijen Amerika Serikat dan Junta Militer lokal, Teori Ketergantungan (Dependency Theory), Teologi Pembebasan hingga Chico Mendez dan Maradona itu mengalami apa yang disebut middle income trap.
"Ini penting, 2024, 2029, 2034, itu sangat menentukan negara kita bisa melompat menjadi maju atau kita terjebak dalam middle income trap, terjebak pada jebakan negara berkembang." (Kompas.com: 19/09/23).