Lihat ke Halaman Asli

S Aji

TERVERIFIKASI

Story Collector

"Katarsis" Memang Beda!

Diperbarui: 8 April 2023   03:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pevita Pearce pemeran utama dalam serial Katarsis| Dok Instagram Screenplay Films via Kompas.com

The universal language is not music, or love. It's loneliness -Anonymous 

Tara dan Ello di tengah hutan yang lembab saling mengirimkan tusukan ke tubuh masing-masing. Tara menggunakan ujung pena, sedang Ello dengan pisau. Darah berceceran kemana-mana dan sepasang kekasih ini baru berhenti ketika kelelahan tiba.

Adegan sadis itu menjadi penutup dari series Katarsis yang tayang di Vidio sejak tanggal 16 Februari 2023. Dibintangi nama-nama top, seperti Pevita Pearce (Tara Johandi), Revaldo (Marcello Ponti), Slamet Raharjo (Herumanto Sulaiman, ayah Ello), Prisia Nasution (Jenny Gideon), Bront Palarea (Dokter Alfons), dan lain-lain, series ini sungguh-sungguh menghadirkan pengalaman yang berbeda.

Pengalaman berbeda seperti apa yang bisa dijadikan ukuran untuk series yang diproduksi oleh Screenplay Films ini?

Pertama, sensasi pembuka di The Girl in the Box. Series yang ceritanya bersumber dari novel berjudul sama ini dibuka dengan adegan pembunuhan keluarga yang tidak biasa. Ketidakbiasaan itu bukan bagaimana pembunuhan itu terjadi namun bagaimana pembunuhan itu dikemas ulang.

Sebuah ruang tamu, foto penghuninya yang merupakan sepasang suami istri, lantas tubuh sang suami yang terduduk bersimbah darah, dan serombongan pasukan dengan peralatan lengkap seolah satuan antiteror menerobos masuk. Sedang tubuh si istri tertelungkup bermandi darah segar di depan pintu dapur yang tersambung dengan ruang keluarga. Peti yang tergembok itu kemudian dibuka, seorang gadis berkepang dua berlumur darah meringkuk di dalamnya.

Yang menganggu dari adegan ini bukanlah tubuh yang berdarah-darah, peti atau satuan antiteror sebagai pesan dari kengerian yang tak biasa. Tapi musik latarnya (backsound). Lagu berjudul Pretty Girl with a Funny Smile yang berirama lambat dengan vokal yang berat membuat nuansanya terasa antik. Pembunuhan sadis tersebut seolah-olah musik dari suara batin yang tenang, tidak terburu-buru.

Kita seperti dibawa kedalam film Quentin Tarantino. Kesan pertama ini yang tak biasa untuk series produksi nasional ini adalah pemikat yang tepat. Setelah diricek, wajar saja berbeda. Si penata musiknya adalah Elwin Hendrijanto. Sosok yang mengarsiteki musik Asian Games 2018.

"Katarsis" | Screenplay Films via Wikipedia

Kedua, pembunuhan sadis yang menghabisi keluarga Johandi adalah semacam pembuka "kotak pandora". Di dalam sana, tersimpan arsip kisah pembunuh berantai yang bertahun-tahun lamanya tetap menjadi misteri masyarakat Jakarta. Riwayat tersebut dikenal dengan "pembunuh peti". Tapi ini baru satu misteri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline