Sepanjang tahun 2022, saya ternyata cuma bisa bikin 64 buah artikel. Padahal setahun itu tersedia 48 bulan, 365 hari, dan 525.600 menit.
Milenial dari angkatan pertama semacam saya jelas-jelas kere produktivitas bila dibandingkan Engkong Felix Tani. Apalagi jika dihadapkan dengan Opa Tjiptadinata.
Konsistensi anak muda seperti yang saya ini sungguh-sungguh buih di lautan ketika berhadapan dengan kedua orangtua panutan semua pembelajar di Kompasiana.
Di tahun yang sama, saya ternyata lebih sering menulis di kanal olahraga--tentu saja ini adalah membicarakan sepakbola. Karena sepakbola juga, artikel yang berjudul Eksperimen Sukses Shin-tae Yong Bernama Ricky Kambuaya menjadi yang paling ngehits.
Dikunjungi pembaca hingga 7.176 kali; jumlah yang tidak ada apa-apanya jika Anda melihat akumulasi views yang diciptakan mereka di golongan Terpopuler tahun ini.
Sedangkan artikel yang paling banyak mendulang vote adalah #KabarBencanaJayapura: Mengenang Hidup di Perumnas IV. Terkumpul 33 vote--jumlah yang sesungguhnya miskin untuk artikel yang bersedih dengan serius. Terakhir, pergumulan kata-kata saya menyelesaikan tahun ini dengan berada peringkat 84.
Masalahnya, saya masih tidak mengerti, peringkat ini dihitung dengan ukuran apa.
Begitulah yang terjadi sepanjang tahun ini. Setidaknya saya masih menulis dan belum berpindah ke lain platform. Saya masih selamat dari kematian ide hingga kebinasaan kata-kata.
Tapi, yang cukup mengejutkan dari statistik tersebut adalah ia mengungkap sesuatu yang hidup bersama penulisnya sejak dalam kandungan. Ia menunjukan benang merah dari apa yang membentuk S Aji bertahun-tahun lamanya, apa yang akan mengikuti sampai kapanpun.