Peristiwa menggembirakan dari perjalanan Argentina di Piala Dunia Qatar 2022 yang lolos hingga perempat final adalah karena memainkan sepak bola menyerang yang enak dipandang.
Perasaan gembira seperti milik Argentina memang duluan dimiliki pendukung Belanda. Sementara untuk negara sisanya, kegembiraan yang sejenis belum bisa ditagih---karena mereka belum terbukti lolos saja.
Sesudah kejutan-kejutan yang terjadi sepanjang penyisihan grup, terutama dengan lolosnya "Tim Samurai Biru" sebagai juara dari "neraka" yang dihuni Spanyol, Jerman dan Kostarika, fase perdelapan final adalah tahapan dimana siapa saja bisa tumbang. Fase yang menuntut segalanya harus berada di level terbaik. Tanpa itu, setiap unggulan bisa berakhir sebagai semenjana.
Jadi kalau Anda melihat babak gugur dengan kacamata eskatologis, maka tindakan memusnahkan atau dimusnahkan dimulai di sini. Tidak ada pembicaraan mengenai kesempatan kedua.
Oleh karena itu, saya tetap memiliki keyakinan Argentina akan melewatinya, seperti sudah ditegaskan dalam artikel berjudul Tentang (Rahasia) Argentina Sejauh Ini. Tapi karena ini Australia, ada sedikit keraguan.
Pasalnya bukan semata-mata karena anak asuh Graham Arnold ini sukses menghentikan Tunisia dan membuat "Dinamit Eropa", Denmark gagal meledak. Bagi pemuja Argentina, menghadapi Australia adalah mengenang rivalitas sesama pejuang di lubang jarum.
Dua negara dari dua benua ini beradu nasib menjelang Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Keduanya mesti memainkan babak play-off kualifikasi OFC--CONMEBOL. Babak ini adalah pertandingan kandang dan tandang antara pemenang turnamen kualifikasi Oseania dan pemenang play-off CONCACAF--OFC, yaitu Australia, dan tim peringkat kedua dari Grup 1 Zona CONMEBOL, si Argentina. Pendek kata, pertandingan yang memperebutkan sisa slot.
Tahun itu kelak dikenang sebagai senjakala Diedo Armando Maradona. Dan perjumpaan dengan Australia mengisahkan penggal sejarah sepakbola Argentina yang ironis. Dikarenakan skuad Argentina kala itu diperkuat nama-nama top seperti Batistua dan Abel Balbo, dua striker top di Seria A.
Di tengah ada gelandang elegan, Redondo yang pernah membuat Zidane tak berkutik. Di belakang, Chamot---bek yang sempat bermain untuk AC Milan, serta kiper Goycochea, yang tampil heroik di Piala Dunia Italia '90. Termasuk masih membawa Ruggeri yang juara di tahun 1986 bersama Maradona. Ada juga satu nama yang tidak cukup dikenal, Carlos Mac Allister, ayah dari Alexis Mac Alliester.
Sementara di tim Australia, dari seluruh anggota skuad, rasanya hanya Mark Bosnich yang dikenal dunia. Pemain berposisi kiper ini pernah bermain untuk Manchester United dan Chelsea. Yang mungkin tak banyak diketahui, Graham Arnold bermain sebagai penyerang Socceroos saat itu.