Kompasiana kini berusia 14 tahun. Dalam masa itu, saya telah membuat akun sejak tahun 2013.
Artinya 9 tahun berjalan, saya memelihara produksi cerita di sini. Tapi tidak lantas itu, saya bakal menulis (lagi) nostalgia yang berlarut-larut karenanya.
Sudah cukup, sudah banyak yang begitu. Saya pernah juga begitu.
Satu-satunya yang terang adalah, dalam masa yang tidak pendek ini, saya pernah ingin pergi tapi tidak pernah benar-benar bisa.
Makin ke sini, makin ke kini, saya merasa tidak punya tempat yang lain. Yang senyaman di sini, walau saya tak se-interaktif 5-6 tahun yang lalu. Mungkin saya hanya ingin tidak keluar dari zona nyaman saja.
Karena itu, saya sekadar menimbang-nimbang mengapa orang-orang bisa pergi dari Kompasiana.
Ada banyak kompasianer di rentang waktu 2013-2015 yang kini bubar barisan. Selain masih bertahan semisal saya dengan antusiasme level Senin-Kamis. Saya tidak perlu menyebut beberapa nama seangkatan/sezaman karena tidak penting.
Saat-saat itu sarat keramaian. Bersamaan menjelang pilpres paling gaduh, pilpres 2014. Ada polarisasi yang meluas hingga ke sini.
Tapi, sumber keramaian itu bukan di kanal politik saja. Persisnya dari tikai politik yang tidak menawarkan apa-apa, sebenarnya.
Selain itu, dari beberapa kontroversi (dan sensasi) yang berporos di beberapa akun. Ada desas-desus, ada massa, dan ada keseruan yang diproduksinya.
Walau begitu, saya kira, seperti kanal Fiksi yang sepi dan sering terasa seperti kuburan bagi mereka yang galau tapi suka berumit-rumit, keramaian yang diciptakannya adalah perlambang yang sedikit berbeda.