Bjorka mula-mula adalah aksi peretasan. Sebagai sebuah nama, anonimitas di jagad virtual. Tapi ini tidak cukup.
Sebab Bjorka juga adalah cara berpikir, sebuah kritik, dan olok-olok yang menjengkelkan. Pun dengan kepanikan bersama kejengkelan kecil yang diciptakannya, sesungguhnya, belum karena kapasitas merusak yang luar biasa.
Oleh sebab itu, saya kira, drama pembelaan, kepanikan, kehebohan dan kejengkelan yang berlangsung beberapa hari ini mesti dilihat pada pangkalnya. Yaitu bahwa semua ini "diciptaan negara sendiri".
Mengapa begitu?
Kita tidak sedang bicara bahwa di tengah kasus pembunuhan yang melibatkan pejabat tinggi kepolisian atau keputusan menaikan harga BBM yang mendulang demonstrasi dimana-mana, lantas Bjorka dilahirkan sebagai modus untuk pengalihan.
Pemaknaan yang konspiratif seperti ini justru akan mengaburkan satu fakta penting.
Bahwasanya negara berikut aparatusnya, maka sebutlah saja para pejabatnya yang berkewenangan mengatur rupa-rupa digitalisme, masih saja berkubang masalah yang sama. Bersama segala macam judul high-tech: ekosistem digital, revolusi 5.0, smart city, dll, dkk, mereka masih berjibaku dengan persoalan yang sama.
Mereka berkubang kegagalan menciptakan keamanan data yang unggul dan tepercaya. Walhasil, sistemnya mudah diretas dan karena ini (wajar?) diolok-olok.
Tapi ini baru satu perkara yang mencemaskan.
Cara negara merespon serangan ini adalah bentuk yang tak kalah mencemaskannya. Karena itu juga, merasa harus tersinggung secara nasional dengan kata-kata "Stop Being an Idiot!" adalah sejenis absurditas.