Lihat ke Halaman Asli

S Aji

TERVERIFIKASI

Story Collector

Perkara-Perkara yang Membatalkanmu Meraih Status Perantau

Diperbarui: 5 Juli 2022   08:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Merantau | pixabay

Peringatan: Saya adalah jelata dari Tanah Papua yang sejak tahun 1999 sudah belajar tabah di perantauan hingga saat menulis ini. Tentu saja masih muda dan sangat bau kencur. Tapi merasa tetap harus menulis sedikit tips agar ketika anak saya membutuhkannya, silakan jalan-jalan ke Kompasiana. 

Pertama, perantau bukanlah mereka yang sekadar pergi jauh dari rumah untuk beberapa saat demi ideal tertentu yang diniatkan. 

Tentu saja rumah itu bukanlah semata bangunan belaka yang terletak di alamat tertentu. Rumah itu adalah keluarga, kasih sayang dan kenangan yang terbentuk di dalamnya, yang membuatnya berharga dan berbeda. 

Sehingga ketika kita harus pergi dan berada di jarak yang jauh, ada kerinduan yang menyala-nyala. Walau begitu, tidak semua perantau berlatar belakang rumah dan keluarga yang baik-baik saja, harmonis lagi mapan berkecukupan.

Ada kasus begini. Di awal tahun 2000an, di Manado, saya pernah menjadi saksi dari kesedihan yang konyol dari seorang pelajar yang baru akan masuk universitas. Belum ada Facebook, Instagram, WhatsApp, dkk-nya.

Saat itu adalah hari terakhir puasa Ramadan dan sehari sebelumnya adalah jadwal terakhir kapal ke Ternate. Saya sudah memintanya untuk pulang karena mendengar takbir berkumandang di malam pertama merantau adalah musik bagi kesedihan yang gigil.

Dia ngotot tak mau pulang. Sembari menantang, "Perantau macam apa yang baru datang sudah libur lebaran."

Dalam hati saya, wahai pemula, kamu belum tahu rasanya. Dan saya terpaksa harus melihatnya menangis tersedu-sedu. "Kalau tahu begini rasanya, saya sudah beli tiket kemarin," katanya penuh sesal. 

Maka bekal psikologi pertama para perantau adalah jangan pernah kalah apalagi menyerah karena siksaan rindu. Apalagi di hidup yang kini terdigitalisasi hingga ke kamar mandi ini, berkomunikasi sudah tak mengenal telegram, surat pos, termasuk mengantri di warung telekomunikasi (wartel). 

Dunia hari ini adalah semesta dalam koneksi. Kapan saja kau bisa melihat wajah ibu atau bapakmu. Karena itu, jika perkaranya homesick, mestinya tidak perlu lagi bertele-tele.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline