Sebelum tekel nirfaedah yang dilakukan Rugani, skuad Nyonya Tua tampil dengan performa yang meyakinkan.
Walau masih betah dengan kemiskinan kreativitas: bola bolak-balik diarahkan ke kanan lalu kiri sisi lapangan, terus backpass lagi, lalu dipusatkan ke Arthur, terus dimainkan ke kiri atau kanan lagi.
Kemudian mencoba umpan silang yang mencari kepala Vlahovic atau Morata; sumpah membosankan walau kata-kata ini tidak lebih dari teriakan di dalam gua, Juventus bermain dengan kemampuan mengontrol pertandingan yang baik.
Sebagaimana juga ketika mereka kehilangan bola. Layaknya harimau lapar mengejar mangsa, mereka mengepung pemain-pemain Villareal. Merebut bola lantas mencoba bertahan sekuat hati mengendalikan permainan.
Setidaknya dalam rekaman statistik, Juventus bisa lebih banyak melepaskan tembakan ke gawang 14 kali berbanding 8 dengan 5 kali tepat sasaran berbanding 3 kali milik Villareal.
Penguasaan bola Cuadrado, dkk juga unggul tipis 58% berbanding 52%. Mereka juga membuat 7 sepak pojok berbanding 2.
Tapi pendekatan Allegri masih tidak tahu caranya memaksimalkan eksplosivitas Vlahovic. Debutan yang sukses menciptakan gol cepat di leg pertama.
Pelatih yang berkali-kali memenuhi trending topic ketika Juventus tampil semenjana dan memuakkan ini berdalih jika Villareal bermain dengan menumpuk 9 pemainnya di area sendiri. Solid, rapi dan konstan.
Apa yang secara efektif dimainkan Villareal adalah sesuatu yang sepertinya ingin sekali Allegri ciptakan di Juventus. Tapi lebih bisa diperagakan Raul Albiol, dkk.
Skuad Villareal serasa paham benar bahwasanya tanpa diperkuat salah satu profesor di belakang--Chiellini atau Bonucci--menganiaya Nyonya Tua hanya soal kesabaran dan timing.