Sehari sebelumnya, saya telah membagikan angan-angan dengan Mahardika. Sobat kecil berumur 4 tahun yang sedang bersemangat membuat udang goreng tepungnya sendiri, membaginya dengan orang lain lalu bertanya, "Enak?"
Angan-angan perihal menongkrongi sunyi di pinggir kebun pisang dengan kukis brudel, secangkir kopi dan kenikmatan kecil yang membantu memberi jarak pada kerutinan. Sebaiknya kalimat "memberi jarak pada kerutinan" jangan dimaknai filosofis.
Ini semata ungkap lain dari menambahkan selera murah kedalam khusyuk khalayan. Demi menjaga sakralitasnya.
Saya terus membayangkan besok pagi akan dimulai dengan sedikit cerah, angin sepoi-sepoi dingin, desau lirih pada batang bambu dan langit yang tiba-tiba menghitam sendu. Kemudian turun lagi gerimis, hujan deras, gerimis.
"Besok pagi, ayah mo minum kopi. Kukisnya pake brudel."
"Enak, ayah?"
"Sedap sekali."
Lalu pagi ini, saya memulainya dengan realisasi angan-angan itu. Sebenarnya saya memiliki daftar kudapan yang berlimpah dan setiap dari disediakan deretan kios kue yang menyediakan 10 Jajanan Pasar Tradisional Manado.
Tapi brudel terlanjur tumbuh di dalam niat. Walau kombinasinya hanya kopi sasetan dengan kalimat bujuk rayu berlebihan.
Sambil menikmati perjumpaan potongan brudel dengan pahit, saya kebayang berita kemarin. Ada heboh kecil yang menyertai kegaduhan soal minyak goreng, tahu dan tempe, hingga harga cabe yang melambung lagi.