Belum lama berselang, dua orang kawan yang pernah barengan tumbuh di kaki gunung Tampusu, Minahasa; yang juga berkembang dari masa pra-facebook atau masyarakat social media atau perayaan narsisme kolektif tanpa malu-malu mengajak saya jalan-jalan ke mall. Kebetulan, "No Time to Die" masih tayang di Cinema XXI.
Walau bukan penggemar garis keras Daniel Craig apalagi menanti dengan sabar riwayat James Bond yang aktingnya dimulai Sean Connery, saya kira tak ada salahnya. Ini memang bukan kunjungan pertama ke Manado Town Square, salah satu yang tersibuk di Manado, tapi saya tetap penasaran.
Seperti apa pandemi mendefinisikan ulang keramaian di dalam salah satu yang disebut kritikus budaya sebagai "katedralnya orang modern"?
Sebagaimana yang sudah, di pintu depan mall, Anda harus mengikuti protokol. Harus mencuci tangan dengan tatacara yang dianjurkan, kemudian mengukur suhu lalu boleh masuk kedalam udara dingin di balik pintu kaca. Menggunakan masker tentu saja adalah anjuran yang pertama.
Prosedur standar ini juga berlaku di banyak tempat yang menjadi pusat dari kunjungan. Tapi ini sebelum aplikasi Peduli Lindungi yang merangkum data vaksinasi warga menjadi bagian dari prosedur. Peduli Lindungi adalah usaha negara memantau pergerakan warga sekaligus memetakan wilayah sebaran virus (dalam kategori warna-warna dan resiko) hanya mungkin bekerja maksimal jika menggunakan jenis smartphone tertentu.
Sekarang, di depan pintu mall, Anda harus melakukan skening barcode yang terekam kedalam Peduli Lindungi. Bertepatan juga, saya sedang tidak memiliki cukup teknologi pendukung yang memungkinkan skening itu dilakukan.
Ringkas cerita, saya cuma punya Nokia E71. Seri yang pernah begitu elitis di zamannya, produk yang menandai satu fase sebelum kemunculan Blackberry tipe Gemini. Atau secara umum, ironisnya, menandai cerita dimulainya kemunduran Nokia dalam pertarungan teknologi telepon genggam.
Maka, kedua kawan saya harus berusaha agar saya bisa masuk ke mall.
"Pak, ini teman sudah divaksin dua kali. Tapi hape-nya zaman old. Kira-kira bagaimana?" tanya kawan sembari menunjukan keterangan bahwa saya dengan NIK sekian, sudah dua kali disuntik Sinovac dari gawai Xiaomi.
Saya diam saja, persis penumpang kapal Pelni yang tiketnya hilang sementara tangga kapal tersisa satu untuk naik. Walau saya sering berdendang "Kapal bajalan, ngana masih di dermaga. Lambaikan tangan kong baseka airmata," saya bukan jenis penumpang yang terpaksa tabah ditinggal.