Hai, Diari! Sudah makan siang?
16 Januari. Saya ini sebenarnya hanya korban yang menikmati kejatuhannya. Saya sudah menegaskan ini dua kali. Saya hanya di-P-I-C-U. Jelas ya?! Dua orang suhu, penulis yang begitu teliti dengan jalan berpikirnya sendiri, adalah pelakunya. Mereka membicarakan sesuatu yang mengenyangkan. Yang membuatmu tidak ingin apa-apa lagi. Hidup terasa cukup karenanya.
Tapi saya tidak sedang berusaha ada di sana. Di dalam perdebatan kedua suhu itu.
Hari ini udara panas sesudah dua hari yang sendu. Tidak ada hujan, tidak ada "aku yang melupakan jemuran". Tetangga sebelahpun sudah keluar dari sarangnya lalu memenuhi tiang bertali dengan pakaian basah yang mungkin terlanjur terendam 2 hari. Sayang, seperti kemarin, seperti pertama kali resmi sebagai penghuni di kamar ini, kami masih belum lagi saling menyapa.
Seolah saja, kota kecil ini telah memakan habis ke-sosial-an kita. Ego kita mudah lelah, serba curiga dan merasa orang lain hanyalah neraka--padahal kita tidak pernah sungguh-sungguh mengaji kepada Sartre! Kamu kenapa, tetangga?!
Kitaa? Loe aja kali, Beib!
Jadi begini, sebenarnya. Sebagai korban yang terpicu seketika, tadi pagi, sebuah permintaan mahahumor disampaikan Om Guru saya: Min K, Gusur Ruang "love" dan "Diary" dari Kompasiana. Seharusnya kita sudah paska-cinta, paska-galau-galau merah muda, demikian peringatan Om Guru Felix. Ngapain difasilitasi dengan kanal "Love" atau "Diary"? Itu biar buat yang baru menetas saja, milenial atau Gen Z sekalian.
"Love and Diary "hanya memicu lahirnya romantika lembut yang sebelumnya bekerja diam-diam (atau kegalauan yang tak sembuh-sembuh). Mungkin juga hanya ada di ruang yang terbatas dan khusus; privat lagi intim. Sebagai yang terlatih tabah--maksudnya kepada dua suhu itu, peace!-- romantika lembut sudah tiba di level yang menubuh. Ia telah menjadi laku, perbuatan sehari-hari yang bersatu dengan pikirannya.
Kata-kata sudah tidak bisa lagi merangkum kekayaan pengalaman dan perjalanan kehendak yang digerakan oleh romantika nan lembut bin gagah perkasa.
Om Guru Felix adalah suhu, tak ada lagi perbantahan perihal kehendak yang menubuh; sudah melampaui ketegangan tubuh dan pikiran. Barangkali senada dengan ilustrasi "Tak ada Rotan, Akarpun jadi". Saya minta maaf jika saja kutipan pepatah ini mendekati sesat, hiks. Milenial tidak hidup di zaman peribahasa diciptakan, maafkanlah.