Saya meninggalkan Bumi Sriwijaya sebulan sebelum pemerintah Indonesia mengumumkan kasus pertama positif Covid-19.
Rencana berlibur agak lama di Yogya Berhati Nyaman seketika berantakan. Saya tidak suka terkunci karena pandemic-based isolationism. Isolasionisme yang memaksa negara-negara menutup diri, pasar berhenti beroperasi, dan manusia diam di dalam rumahnya sendiri-sendiri; reaksi yang boleh kita sebut sebagai "deglobalisasi".
Sebab mengalami terapi kejut "de-globalisasi", geger Covid-19 hanya akan melahirkan sesuatu yang lebih mengenaskan jika malah menabung keterasingan tambahan dari dongeng modern kemenangan manusia atas yang bukan manusia.
Dengan maksud lain, bila nanti tragedi pagebluk ini berakhir, manusia tetap saja merasa diri satu-satunya yang paling terdepan menentukan jalan sejarah. Tidak ada yang berubah.
Walhasil, dalam transit karena penerbangan 3 jam ke Jazirah Celebes, di Cengkareng yang selalu dingin namun ramai itu, dari Xiaomi yang makin out-of-date ini, saya menulis puisi pendek berjudul (kamu boleh baca di... Ketika Pandemi Tiba). Sebuah isyarat jika narasi krisis segera dimulai sebagai percakapan sehari-hari, bukan lagi percakapan seminar atau keputusan politik.
5 bulan kemudian, diselingi rangkaian blunder kekuasaan, semesta yang sempat disebut dengan optimis "borderless world" kembali berjuang menghidupkan dirinya sendiri.
Memaksa dunia setiap orang yang berputar di dalam rumah pelan-pelan kembali ke rute "New Normal". Tetangga saya, seorang Minahasa yang telah hidup lama di Amerika Serikat pun serasa berpusar dalam lingkaran. Pagebluk mungkin memaksa dirinya yang merupakan warga negara global itu mengakarkan kembali keminahasaanya, tidak sekadar menostalgia riwayat. Tapi bukan ini saja poin-nya.
Saya beruntung, memiliki kesempatan tinggal di perkampungan sejuk yang terletak di kaki gunung Klabat, Minahasa Utara. Berada di jalur perlintasan antara kota pelabuhan Bitung dan Manado yang sedang giat-giatnya bersolek sebagai pusat konsumsi baru di tepian Pasifik.
Dari wilayah perlintasan yang juga merupakan kawasan transisi dari desa dan kota, saya mencurigai hal berikut ini.
Bahwasanya situasi pandemi Covid-19 yang memaksa dunia kembali kepada unit-unit kecil dan mengunci diri adalah peringatan jika daya dorong globalisasi sebagai ekspor kehampaan sedang diguncang kejumawaannya.
Ekspor kehampaan yang bersumber dari segala niat yang memuja kontrol, efisiensi, efektifitas hingga pemujaan pada pertumbuhan dan kemajuan tiba-tiba saja ambyar karena virus. Virus yang bekerja seperti hantu.