Food is the most primitive form of comfort- Sheila Graham (1904-1988)
Kemarin malam, berdelapan, kami pergi ke meja makan. Tapi bukan sembarang makan. Menuju "Shabu Pot", salah satu tempat yang direkomendasikan di Palembang, kami membayar rasa penasaran terhadap jualan "All You Can Eat (AYCE)".
AYCE memang sudah lama beredar dalam percakapan kami di saat beberapa kali mencoba jenis-jenis kuliner (lokal pun intralokal). Sebagai "nomad urban" (baca: kebanyakan di desa, di kotanya transit doang), ini adalah sejenis panggilan.
AYCE disebut-sebut sebagai bagian tradisi makan masyarakat Korea atau Asia Timur. Di dalam narasi drakor atau film laga Tiongkok, misalnya, makan beramai-ramai ini seringkali muncul sebagai salah satu setting yang penting.
Makanya, kamu juga boleh mencurigai jika keramaian kecil--karena masih sebatas di kota-kota saja-- yang menyambut konsep AYCE ini sebagai bentuk dari keberhasilan lanjutan ekspansi budaya pop Korea.
Tapi saya tidak cukup paham pada bagian yang menceritakan tradisi kuliner dan ekspansi budaya pop, termasuk yang ber-ala-ala Jepang atau Tiongkok. Saya hanya ingin bercerita saja seperti apa pengalaman makan ala AYCE sebagai peserta makan. Bukan juri kontes masak yang bicaranya bercampur bahasa dengan nada sengau dan muka sok kejam itu.
Mari ikuti kesaksian peserta makan yang terlibat dengan totalitas tanpa tanding. Layaknya mereka yang diisolasi oleh kelaparan bertahun-tahun akibat peperangan.
PERTAMA. Menghadapi tantangan AYCE, kamu harus benar-benar lapar dan sedang sangat-sangat bernafsu untuk makan.
Saya, sebagai hasil eksperimen, bahkan hanya "smokol" (makan di antara makan pagi dan makan siang--kamu boleh baca bagaimana Smokol bekerja dalam bentuk cerpen di sini) demi sekadar menunda lapar. Lalu menunggu hingga tiba jamnya.
Kami berangkat ke restorannya jam 19.30 WIB. Sekali lagi, hanya lapar yang serius saja yang absah menerima panggilan AYCE.