Sebab setiap kesedihan memiliki musiknya sendiri-sendiri.
Sebelum Lord Didi mengheboh di kepala milineal, kita sudah pernah mendengar jika musik adalah bahasa universal.
Ada kekuatan di dalam musik yang bisa menyentuh perasaan terdalammu tanpa harus tahu artinya apa, jika musik itu menggunakan lirik. Terlebih ketika menyampaikan nuansa tentang kesedihan, pengalaman kelam atau tragedi berulang yang lama-lama malah menjadi komedi gelap.
Saya tidak tahu Yang Mulia Lord Didi pernah mengatakan hubungan yang seperti itu, tapi saya kira apa yang dibikinnya lewat lagu-lagu yang lagi mengharubiru dimana-mana itu berada di jalur yang sama.
Saya bahkan percaya, setiap kesedihan adalah musik itu sendiri.
Dan Lord Didi mengaransemennya dengan baik. Dengan kata lain, musiknya bukan lagi ekspresi dari kesedihan itu-musiknya telah menjadi semacam perayaan pada kesedihan.
Karena itu juga...
Jika musik menyediakan kemungkinan dan kesempatan menyelami pengalaman getir manusia, yang dhaif, yang rapuh, yang meweknya seperti gak pake istirahat; yang ditinggal pas lagi sayang-sayangnya; yang sudah menggadaikan SK ASN ke bank, eh, malah kalah pengaruh karena target duluan dilamar pasukan berseragam, maka di tengah dunia yang kelelahan, dunia yang dilipat, yang terobsesi pada karir dan hidup sukses; yang digerakan oleh kuasa "Surveillance Capitalism", musik sedih adalah sejenis interupsi!
Maksudnya, musik sedih memang harus ditemukan agar manusia tidak mengalami kemalangannya sebagai persoalan matematik! Musik harus ditemukan agar manusia bisa luput dari ambisi untuk mengukur dan menghitung; ambisi terhadap serba jelas, masuk akal dan predictable.
Sapiens tidak setangguh yang dibayangkan para pemuja citra diri Homo Economicus.