Saya merasa harus mengucapkan terima kasih sembari memberi sedikit anjuran bagi Anda yang terlanjur singgah ke sini.
Singgah demi membaca sedikit catatan tentang film yang dibuat oleh sutradara yang katanya selalu meraup keuntungan besar tapi, uniknya, memiliki idealisme yang cenderung menolak selera pasar. Quentin Tarantino, namanya.
Pertama, bayangkan diri Anda sebagai generasi yang baru belajar memahami sutradara dan jenis filmya di industri besar bernama Hollywood nanti sesudah tahun 2000-an. Artinya, Anda harus masuk ke dalam pikiran milenial, sedikitnya begitu. Jadi Anda tidak memiliki cukup ikatan emosi dengan zaman, cita rasa film dan sebaran idola yang hidup dan berkarya di tahun 1960-an akhir; tahun yang menjadi latar situasional dari Once Upon a Time in Hollywood.
Kedua, tentu saja, karena catatan ini tidak mendalami konteks historis yang disebut sebagai tahun kejayaan industri film Hollywood itu, maka Anda harus mula-mula mendekati film itu tidak dari bagaimana zaman gemilang itu direkonstruksi. Sebaliknya, seperti yang saya lakukan, Anda harus masuk ke dalam dunia batin atau kegelisahan-kegelisahan tokohnya untuk melihat bagaimana manusia dan dunia yang membentuk keberadaannya.
Jadi, masuki film yang disebut-sebut tidak mudah dipahami ini, bagaimana Leo Dicaprio, Brad Pitt dan Margot Robbie menghidupi karakter Rick Dalton, Cliff Booth dan Sharon Tate. Ada sosok Squeaky Fromme yang dimainkan Dakota Fanning, Marvin Schwarz yang dihidupkan Al Pacino juga Randy yang dilakoni Kurt Russel tapi mereka hanya seperti selingan di samping hidup Dalton, Booth dan Tate. Bukan poros dari cerita.
Ketiga, sadarilah sejak awal jika ini film kesembilan dari Tarantino. Kabarnya, di film ke sepuluh, lelaki yang lahir 27 Maret 1963 ini akan pensiun. Maksud saya, Once Upon a Time in Hollywood mungkin harus dilihat dalam hubungan dengan film-film Tarantino sebelumnya.
Film yang bukan saja telah menyertakan para aktor/aktris yang menjadi pilihannya namun juga ciri yang selalu menonjol dari seorang Tarantino.
Singkat kata, saya mendekati film ini dengan melihat lagi The Hateful Eight (2015). Ada jarak produksi sekitar 3,5 tahun antara kedua film ini selain dalam pilihan genrenya. Tetapi saya, yang memuja Tarantino dengan segenap ke-awam-an pikiran, tetap saja bisa melihat karakteristik yang menandai.
Misalnya, soal kegemarannya dengan lagu-lagu lawas sebagai back sound, karakter tokoh yang kuat, dialog yang intens, pelukisan lanskap yang kuat, pertunjukan kekerasan yang brutal, serta komedi yang tragik.
Lalu, bagaimana catatan ini akan mengungkapan kesaksian saya terhadap film yang pertama dirilis pada 29 May 2019 di Festival Film Cannes ini?