Sebuah pemberian dan hal-hal yang bersembunyi di baliknya.
Saya akhirnya menerima pemberian yang dinanti-nanti selama sebulan.
Saya memenangkannya dari even yang Give Away edisi ke-2 yang dibikin akun twitter Kompasiana. Kemenangan yang tidak sebatas menyingkirkan para pemburu hadiah, namun juga terjadi karena menyeret tiga nama kompasianer beken. Tiga nama dimana dua yang disebut belakangan kini lebih sudi membiarkan lapaknya hidup di masa lalu.
Mereka adalah, mari kita sebut dengan hormat, bapak Prof. Pebrianov, kakak Dkil Difa, dan mas Joko P.
Pemberian berupa topi rimba seperti ini jelas bukan barang yang unik, terlebih dibuat sebagai edisi terbatas. Seperti jam atau mobil mewah yang diniatkan hanya kepada Cristiano Ronaldo. Dia bisa diperoleh dimana-mana dengan mutu yang lebih bagus, lebih branded.
Pun dengan tagar #GueKompasianer, saya bukan seorang diri atau hanya lapisan kecil yang dikhususkan. Itu bukan tagar yang elitis. Sama halnya jika merujuk pada usia aktif berkompasiana, usia yang produktif, saya juga tidak menjadi bagian dari mereka yang segelintir saja.
Saya adalah keumuman dengan minat yang pasang surut terhadap (kritik) politik dan ideologi, budaya layar (film), ironi selebritisme atau gaya hidup yang berjangkar dalam hiruk pikuk ruang budaya urban.
Bahkan ketika lapak saya dipenuhi oleh narasi fiksi yang berkubang dari kegelisahan warisan Joko Pinurbo (seperti dalam video di sini), itupun dengan derajat pasang surut yang tidak berbeda jauh. Bahkan ketika monetisasi artikel diberlakukan, pasang surut itu tak juga berkurang (justru makin terancam, hihihi).
Singkat cerita, semua ini menandai perjalanan 6 tahun yang angin-anginan mengelola produktifitas. Kondisi yang membuat #GueKompasianer perlu dipercakapkan lebih dalam lagi. Sekurang-kurangnya, jika padatkan kedalam "kalimat paradigmatik", maka akan terbaca:
Dalam pasang surut produksi yang "narasi Beyond Blogging", bagaimana ikhtiar menjadi Kompasianer bisa didaku sebagai kewargaan yang berbicara? Kewargaan yang terlibat dalam menyehatkan percakapan publik manakala produksi hoaks seolah menjadi keniscayaan dari pertarungan kecepatan dan kapitalisasi, misalnya?