Apakah kau masih mengingat apa saja yang hilang manakala kota tempat kau lahir, belajar dan berusaha memenuhi mimpi-mimpimu merelakan dirinya ke dalam arak-arakan besar pembangunan bermantra pusat jasa dan konsumsi?
Warung makan favorit? Rumah kopi? Pasar malam, atau toko buku?
Di kota kecil dimana saya belajar mengalami masa remaja, baru ada satu toko buku yang memang menjual buku dan perlengkapan anak sekolah. Selebihnya hanyalah kios koran, yang jika saya sukses menyimpan sedikit uang jajan maka tabloid Bola bisa saya baca tanpa menunggu giliran dari meminjam milik tetangga.
Kemudian di kota yang pada mulanya kecil, dimana saya pergi bersekolah, ada lima toko buku.
Dua yang pertama terletak di pusat keramaian, terjepit di antara ruko. Di salah satu, yang bernama toko buku Utama, saya menemukan Involusi Pertanian milik mendiang Cliffford Geerzt, berwarna hijau lusuh dengan penerbit Balai Pustaka. Harganya sekitar lima belas ribu rupiah, hampir enam kali lipat dari harga cetakan terbaru yang dikeluarkan Komunitas Bambu.
Tak jauh dari Utama, saya sering mampir ke LOK, toko buku yang merangkap distribusi koran dan majalah. Saya menemukan beberapa buku tua, khususnya yang diterbitkan LP3ES dan Yayasan Obor Indonesia. Sekitar 15-20 menit waktu tempuh dari sini, dengan angkot ke arah selatan, ada lagi satu toko buku yang menyimpan buku terbitan lama. Saya mendapatkan Tafsir Kebudayaan dari antropolog yang sama di sini.
Terakhir, ada satu toko buku yang khusus menjual buku-buku terbitan Kanisius. Letaknya terjepit di deretan ruko yang kucel pada sebuah terminal antar kabupaten. Saya menemukan beberapa seri filsafat di sini. Termasuk paper TH. Sumarthana tentang RA. Kartini yag dibukukan.
Tapi, seperti yang sudah kutanyakan kepadamu, ketika kota kecil ini tumbuh dan membengkak sebagai pusat jasa dan konsumi, mereka kemudian lenyap. Seperti tumbal dari ruang yang berubah imajinasinya dan waktu yang "terteknologisasi" putaran detiknya.
Cerita The Bookshop atau La librera dalam bahasa Spanyol, yang diadaptasi dari novel karangan Penelope Fitgerald adalah film yang bisa membawamu mengingat hal baik, kecil, mungkin juga "feminin", yang kalah lantas menghilang dari sebuah kota. Lebih persisnya, yang tersungkur di hadapan "ambisi ekonomi dan estetis" kaum berkuasa; mereka yang mengendalikan produksi regulasi sekaligus eksekutornya.
Walau begitu, film yang memenangkan tiga kategori Best Film, Best Director untuk Isabel Coixet, dan Best Adapted Screenplay pada perhelatan Goya Award ke-32, 3 Februari awal tahun ini bukanlah tragedi yang menghidupi sejarah kota-kota super modern.