Apa yang kau pikirkan ketika terbang dari pinggiran, dengan orang-orang yang sederhana?
Saya baru sibuk memperhatikan Mama hingga siang yang cerah itu. Dari dalam kabin pesawat ATR 72-500/600. Dalam penerbangan singkat yang melintasi langit Ternate menuju Manado. Penerbangan satu jam saja. Di pembukaan Oktober yang cerah.
Mama ternyata masih sanggup membaca majalah tanpa berhenti selama itu, apalagi tertidur. Setiap lembar majalah milik maskapai diperiksanya satu-satu, pelan dan menikmati. Khusyuk. Saya malah tertidur--kondisi yang selalu terjadi saat take off--mungkin 20-an menit. Sesudah terjaga, saya baru sadar jika biografi Shalahuddin Al-Ayyubi yang ditulis John Man malah tertinggal di Tana Tinggi.
Maka, kesibukan saya yang seringkali terjadi saat tiada bacaan dalam kabin yang dingin begini adalah memeriksa sekeliling. Memperhatikan para penumpang, gerak-geriknya selama penerbangan, dan menyusun dugaan-dugaan. Lebih baik begitu ketimbang memahami kerja pramugari, mulai dari menyambut di depan pintu, mengecek boarding pass dan membantu meletakan barang di bagasi kabin, menyampaikan pengumuman, memperagakan prosedur keselamatan, hingga mengingatkan saat mendarat sudah dekat.
Misalnya dengan menelisik mengapa pramugari yang mungkin berumur 23-25 tahun itu terpaksa tersenyum dan ketika penumpang melewatinya, wajahnya yang lelah muncul seketika? Dan mengapa ia tidak menyapu bedaknya dengan rata di pipi sebelah kiri. Sehingga terlihat lapisan kulit yang asli dan, tunggu, matanya terlihat bukan saja lelah tetapi juga menanggung kesedihan. Bahu seperti apakah yang dibutuhkan oleh mereka yang setiap hari harus terbang berpindah-pindah kota?
Tapi sumpah, saya tidak pernah membayangkan sejenis Sherlock Holmes sedang bekerja. Saya hanya ingin mencari jenis-jenis penumpang, selain dalam diri sendiri, yang hidup di luar sana.
Saya sekadar melihat tiga orang dewasa, yang bergaya turlok, turis lokal. Salah satunya membuat pramugari harus kembali mengingatkan kembali jika sabuk pengaman harus dikencangkan saat mendarat. Bahkan sampai harus mengatakan, "Sabuknya dipasang Pak!" dengan nada setengah kesal.
Saya terus ingat, sesaat sebelum tertidur, seorang bapak di kursi depan tiba-tiba saja gusar. "Pak, berangkat sendiri saja? Gak sama keluarga?" tanya pramugari berbaju merah yang dilengkapi stoking hitam. Bapak ini hanya menggeleng. "Saya bisa minta tolong bapak duduk di kursi dekat pintu darurat?"
"Tidak!" disertai gelengan kepala yang tegas.
Dan ingatan saya terus ke belakang, saat memasuki kabin pesawat setelah menderita delay satu jam, hanya menjumpai kata-kata, "maafkan karena alasan operasional".