Aku mengenangmu dalam dua pergumulan. Perihal usia muda dalam pelajaran tentang peristiwa kekerasan dan peristiwa politik yang berlipat-lipat rahasianya.
8 tahun yang biru itu, aku melihat kau tumbuh dari pantai teduh, gorengan pisang dan air saraba bercampur percakapan yang bersemangat. Ada sebuah toko buku tua yang menyimpan After the Fact, yang terselip dalam lembar-lembar pertanyaan tentang agama dan kemanusiaan. Tapi aku juga melihatmu datang dari masa lalu: sebuah perguruan Islam, tahun 1930, serta cerita seorang saleh berkeliling ke delapan penjuru mengajarkan ilmu.
Di antara keduanya, aku menghormati jiwa-jiwa yang percaya daulat manusia berjalan hidup dengan daulat alamnya.
Dan, tragedi berdarah itu baru saja berlalu. Sebuah orde politik kolaps. Orde yang lahir dari tragedi berakhir dengan tragedi. Sejarah dipenuhi amis darah dan dendam, kau berada di salah satu sumbunya.
Tapi kau tak remuk. Kau pulih dan belajar tumbuh kembali.
Lalu gempa dan tsunami memaksa (lagi) segala kesadaran luluh lantak, pecah dan mandi air mata dalam berseru: Tuhanku..Sodaraku..Tanah Airku..Ini bukan sekali dan kau akan kembali pulih dari duka lara atau trauma. Aku berdoa untuk itu.
Walau aku mungkin masih mencari-cari orang-orang yang turut tumbuh dalam masa bersemangat itu. Orang-orang yang keras hati, yang tak pernah kerdil nyalinya. Yang menjaga hidup dengan berbagi lagi mengasihi.
Orang-orang yang diasuh dari kasih tanahmu yang keras. Para sahabat yang tak pernah hancur di depan tragedi.
[2018]
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H