Ketika matamu hujan,
kota ini adalah museum raksasa
dengan lukisan suram di sekujur sejarah
hingga kebimbangan mematung diri
dalam cermin di kamar mandi.
Orang-orang berubah bayangan,
rusuh dengan nasib sendiri,
asal-usul kekecewaan, apalagi masa depan
yang tak pernah mereka pelajari.
Anak-anak menjadi sebaris prosa
yang ditulis saat senja
berwarna darah,
sedang janji bukan lagi pelabuhan tua
dengan kekasih yang saling mengirim
doa.
Sementara aku,
kemalangan yang melelah,
terombang-ambing di muara
sebelum kelak mengisi
hujan di matamu.
2018
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H