"Sarwono itu kader. Dia mengerti strategi. Jalan pikirannya seperti tentara. Dan dia bagus menangani krisis," demikian Moerdiono menirukan kata-kata Pak Harto ( hal 189)
17 Mei 1997. Di layar kaca SCTV, Ira Koesno terlihat "ngotot" memastikan bahwa opsi reshuffle kabinet dan seruan reformasi yang berangsur-angsur (gradual) adalah solusi yang akan membawa Indonesia keluar dari krisis.
Namun Pak Sarwono yang menjadi narasumber pagi itu tetap teguh berpendapat jika tindakan politik tidak lagi berguna. Situasi krisis (baca: kegagalan sistem politik dan ekonomi mengelola masalah dan risiko) yang menyertai senjakala negara Orde Baru saat itu sudah tiba pada dimensi moral. Ibarat gigi yang sudah sakit, maka ia harus dicabut agar tumbuh gigi baru. Bukan dengan menambal yang justru akan melahirkan masalah yang lebih kompleks.
Pak Sarwono mungkin adalah sedikit orang yang berani menganjurkan perubahan menyeluruh atas rezim Orde Baru secara terbuka. Apa yang disampaikan lewat analogi gigi sakit yang harus dicabut, dalam bahasa politik ini adalah delegitimasi serius.
Pasalnya, tema yang bertahun-tahun lama menjadi "barang haram" dalam diskursus politik Orde Baru adalah mengenai suksesi kepemimpinan nasional. Wakil presiden boleh berganti-ganti, Soeharto jangan! Ditambah lagi, Pak Sarwono sendiri pernah menjadi bagian yang sangat dekat dengan istana. Yakni saat menjadi Sekretaris Jendral Golongan Karya mendampingi Sudharmono, SH lantas diangkat sebagai menteri.
Apakah analogi mencabut gigi yang sakit itu muncul karena atmosfir yang menaungi langit kekuasaan Orde Baru telah berwarna senja? Dan karena itu juga, pernyataan seperti ini "tidak terlalu signifikan" dalam mendorong massifnya protes-protes ekstra-parlementarian? Dengan kata lain, dengan tidak menyebut krisis moral pun, kejatuhan Soeharto adalah sebuah keniscayaan historis?
Saya tidak punya jawaban tentang ini. Saya hanya memiliki sedikit cerita dari hasil bacaan yang barangkali dapat membantu memahami mengapa pernyataan seperti itu bisa muncul. Sebuah bacaan biografis. Karena itu, memamahi konteks yang saya maksud bukanlah pada "rasionalisasi politik saat itu" namun berakar pada narasi sejarah yang lebih luas dari hidup seorang tokoh.
Yang saya maksudkan adalah bacaan atas buku berjudul "Menapak Koridor Tengah" (MKT). MKT merupakan memoar yang ditulis Pak Sarwono sendiri, yang berkisah dari masa kecilnya, pergulatan aktivisme politik kampus, hingga mencapai posisi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (1988-1993). Dan sudah diluncurkan pada HUT-nya yang ke-75 di Jakarta Selatan pada Sabtu 28 Juli 2018.
Buku ini terbagi dalam empat bab dan merupakan seri pertama. Memang dalam bagian pertama ini, kita belum menemukan jawaban dari pertanyaan di atas. Namun kita diberikan "peta jalan" untuk melihat bagaimana sang tokoh merintis sejarah dirinya hingga masuk ke dalam lingkaran elit politik nasional.