Sejak tayang Januari kemarin, Dilan 1990 telah menembus 6.315.096 penonton. Pencapaian seperti ini membuat saya ikut bingung, kok bisa ya?
Pasalnya, di tengah persaingan film bertema religi, biopic, dan hantu-hantuan (ghost from the past), bagaimana boleh yang bertema cinta-cintaan remaja SMA bisa kembali menyedot atensi orang banyak? Khususnya sesudah kesuksesan Ada Apa Dengan Cinta seri pertama yang mengorbitkan Dian Sastro dan Nicholas Saputra?
Lebih membingungkan lagi, sesudah narasi Dilan-Milea tayang, saya membaca seliweran status yang mengutip kata-kata Dilan, seperti "Ini berat, kamu gak akan kuat. Biar saya saja" atau "Saya ramal, kita akan bertemu di...bla.bla.." Ini film apa, kok sampai bisa melahirkan kelatahan massal?
Saya berusaha tidak akan mengulang kritik Windu Yusuf dalam tulisannya yang berjudul Dilan 1990 adalah Film Horor. Dalam tulisan tersebut, salah satunya yang dikritiknya adalah narasi Dilan tak pernah pergi jauh dari Ali Topan Anak Jalanan (1977). Yakni tentang anak motor, bernyali besar dan jago gelut serta selalu bisa memenangkan pertarungan hati gebetan.
Maksudnya, Dilan-Milea tidak menawarkan pengalaman sinematik yang berbeda dalam narasi cinta-cintaan gaya putih abu-abu dari masa sebelumnya.
Tentang ini, kita boleh membahasakan dengan kalimat berbeda.
Misalnya begini: pada Dilan, sikapnya yang bengal adalah potret dari anti-sistem. Bahkan berani mengadakan perlawanan terbuka. Apalagi terhadap Suripto yang salah memahami otoritas konseling terhadap murid dan kepala sekolah yang lembek. Saat yang sama, Dilan juga adalah siswa yang mewakili kelasnya dalam seleksi Cerdas Cermat.
Bagaimana dengan Milea? Sikapnya yang lembut, manis serta anak rumahan dari lingkungan keluarga yang harmonis adalah "katup pengaman" bagi Dilan yang menentang kesewenang-wenangan Suripto dan panggilan dari solidaritas gengnya. Sisanya, dalam diri Milea, hidup kandidat istri yang penyayang keluarga dan garansi dicintai sepanjang hayat.
Maka, bisa dikatakan film berbiaya 3 miliar ini adalah perkawinan dua imej: lelaki yang bernyali dan jago kelahi, anti-aturan sekolah sekaligus romantis berhadapan perempuan yang manis, lembut tutur kata dan sikap, manja serta anak rumahan; yang laki banged dengan perempuan banged. Apa yang baru dari "perkawinan imej" seperti ini?
Karena itu, kisah ini biasa-biasa wae. Hanya saja, yang biasa tidak selalu buruk.
Bagi saya, tergantung dari bagaimana struktur cerita memelihara dinamika konflik. Salah satunya adalah dalam memilih padanan, semacam "kontra-karakter" yang tepat. Pun jika elemen konflik pada akhirnya adalah daur ulang semata, maka akhirnya akan bergantung pada penghayatan dari sosok di balik peran yang dilakoni.