Lihat ke Halaman Asli

S Aji

TERVERIFIKASI

Story Collector

Melihat "Jody" dalam Politik Kekinian Para Representator

Diperbarui: 9 Maret 2018   08:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sidang Dewan | hukumonline.com

Mari kita ringkaskan saja gambar besar dari perseteruan politik kekinian yang pada akhirnya, bagi saya, akan serupa dengan ungkapan kesal Jody kepada Ben ketika mereka tiba pada penyelesaian konflik di film Filosofi Kopi 2. Persahabatan Ben dan Jody didera oleh perpecahan kecil akibat masuknya Tara yang "menanggung dosa kejahatan ayahnya". Dan juga, Brie, perempuan barista, asisten Ben, yang ternyata pemuja berat pesona Ben sejak awal. 

Perpecahan kecil itu berakhir dengan keputusan Ben yang memilih mengurusi warisan bibit kopi almarhum ayahnya bersama Brie. Jody mengurusi kafe baru mereka di Yogya bersama Tara. Ben-Brie menjadi penyuplai, Jody-Tara sebagai penyaji. Dan untuk momen konflik bisnis-asmara yang berakhir happy ending seperti ini, Joddy hanya berujar pendek, "Taeklah!"

Keduanya terus tertawa dan berpelukan, tentu saja!

Sebelumnya, menyebut "Politik Kekinian" tidak semata soal "yang sekarang berjalan". Karena itu, kekinian bukan kategori ruang dan waktu yang kosong. Atau lebih persisnya, tidak pernah kosong. Di dalamnya, terbawa sejarah berpolitik kita sejak masa-masa awal Republik. Pada sejarah, bangsa yang besar seharusnya banyak belajar agar bisa menguasai masa depannya, kata George Orwell. Artinya, pada produk politik kekinian, yang kita harapkan adalah kualitas-kualitas baru yang membuat kita percaya representasi kita tidak salah.

Representasi.

Dalam nama representasi, kita bicara tentang organisasi politik dan orang-orang yang terpilih. Orang-orang yang membuat fungsi-fungsi legislatif bekerja menjadi keseimbangan kekuasaan. Membuat mandat kita bermakna dalam konteks kedaulatan. Kedaulatan memang tidak pernah "permanen" atau "beyond history", oleh demokrasi, eksistensinya harus selalu diuji oleh rangkaian kontestasi formil. Kedaulatan rakyat karena itu adalah tanda yang kosong.

Lantas apa yang dipertontonkan oleh representasi politik formil itu?

Pertama, kita melihat polarisasi yang mencemaskan paska-pilpres, sesudah terpilih presiden baru. Tiba-tiba saja, kubu oposisi bekerja menguasai parlemen dan menciptakan tekad bulat, akan "melawan sampai maut memisahkan bagian-bagian yang mendukungnya". Kita, atau saya lebih persisnya, menjadi cemas karena kehidupan bernegara terancam jatuh pada kubangan anarki alias kekacauan total. Kekacauan total yang saat bersamaan ditandai oleh kemenangan seseorang yang tidak memiliki irisan darah elit, baik dari blok militer pun oligarki kaum sipil. 

Namun apa yang terjadi? 

Tidak butuh waktu lama, tekad oposisi seumur hidup seolah kekalahan temporer politik adalah dendam kesumat gaya kerajaan, bubar barisan. Rontok ibarat daun terserang penyakit. Ibarat kerupuk yang masuk angin hanya dalam beberap detik dipisahkan dari toples. 

Dan kita tahu, atau paling tidak seharus selalu curiga, bubar barisan paska-kekuasaan dikelola tidaklah dikarenakan oleh argumentasi berbasis visi politik. Argumentasinya hanyalah "kecemasan berdiri di luar yang berkuasa". Hitung-hitungannya adalah untung rugi yang berujung pada akses terhadap sumberdaya kekuasaan. Matematika menjjikan seperti ini dibungkus dengan retorika kosong berjudul strategi politik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline