Lihat ke Halaman Asli

S Aji

TERVERIFIKASI

Story Collector

Sejumlah Mengapa untuk "Filosofi Kopi 2"

Diperbarui: 29 Juli 2017   19:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Mumpung sedang berada di salah satu orbit budaya urban di Indonesia, saya menyempatkan untuk melakukan dua persiapan sebelum duduk terjaga di depan layar besar yang sedang menampilkan Filosofi Kopi 2.

Persiapan yang dilakukan adalah pergi ke toko buku dan membeli ulang Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade milik Dee yang dkasih judul utama Filosofi Kopi (Bentang, Cet.XI: 2016). Dengan begitu, saya sedang memasukkan lagi ide dasar yang menjadi rahim dari kelahiran film yang dibintangi Chicco Jerico dan Rio Dewanto. Ide yang merupakan pembacaan kedua saya atas cerpen yang ditulis Dee tahun 1996 itu.

Dengan membaca kembali, saya harus memberi perhatian khusus jika tokoh Ben adalah jiwa yang terobsesi dengan cita rasa kopi yang sempurna. Di cerpen Dee, untuk melayani obsesinya, Ben dilukiskan sampai pergi ke kota-kota di Eropa, masuk ke dalam dapur barista-barista dan bergaul dengan macam-macam eksperimen dan rasa kopi.

Ben's Perfecto yang merupakan mahakarya Ben adalah hasil dari pergumulannya paska-Eropa yang kemudian keok oleh cita rasa kopi bernama Tiwus.Kopi dari kebun seorang petani desa sederhana. Kesederhanaan dan keikhlasan desa yang mengalahkan ambisi urban akan mitos kesempurnaan rasa.

Berikutnya, di dalam cerpen itu, apa yang disebut filosofi kopi tercermin dalam hubungan imajiner antara karakter manusia dengan pilihan jenis sajian kopi. Misalnya dalam percakapan, "Seperti pilihan Anda ini, capucciono. Ini untuk orang yang menyukai kelembuatan sekaligus keindahan." Ben tersenyum seraya menyorongkan cangkir. "Anda tahu, capuccino adalah kopi paling genit?"

Dalam dialog dengan pelanggan soal Capuccino, Ben menambahkan, "Seorang penikmat Capuccino sejati, pasti akan memandanngi penampilan yang terlihat di cangkirnya sebelum mencicipi. Kalau dari pertama sudah terlihat acak-acakan dan tak terkonsep, bisa-bisa mereka enggak minum."

Kalau Anda penikmat jenis sajian Capuccino, pasti langsung bisa melihat diri Anda di pelukisan Ben di atas.

Saya sendiri penyuka sajian kopi tubruk, apa filosofinya? Kata Ben, "Lugu, sederhana, tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam." 

Ben melanjutkan, "Kopi tubruk tidak peduli penampilan, kasar, membuatnya pun sangat cepat. Seolah-olah tidak membutuhkan skill khusus. Tapi, tunggu sampai Anda mencium aromanya."

Pelukisan filosofis yang menyusun "argumentasi spekulatif selera, jenis kopi dan tipe-tipe karakter manusia" inilah yang memikat dari cerpen Dee. Keterpikatan yang mungkin bagi para barista, atau penggila kopi yang ideologis, akan segera berkata, "Udik Lu. Ketahuan enggak ngerti kopi!" Keterpikatan saya terlalu sederhana.

Narasi hubungan filosofis sedemikian yang membingkai cara pandang saya ketika duduk selama 108 menit dalam gedung dingin bioskop yang sepi. Menyaksikan bagaimana alur cerita dihidupkan oleh Chicco Jerico, Nadine Alexandra, Rio Dewanto dan Luna Maya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline