Selain rekonstruksi "subyek Batman" yang dilakukan Nolan, ide dan narasi superhero produk industri film Hollywood mungkin sedang lesu gagasan. Kelesuan itu ditandai oleh kembalinya gairah untuk mengelaborasi elemen-elemen mitologi dari sejarah pembentukan bangsa Barat, khususnya dari puak Anglo-Saxon.
Bagaimana menggambarkan situasi ini?
Saya mengambil tiga film yang baru tayang di bioskop tanah air. Ketiganya adalah King Arthur: Legend of The Sword besutan Guy Ritchie, Wonder Woman besutan Patty Jenkins dan Transformers: The Last Knight besutan Michael Bay.
King Arthur-nya Ritchie bukan semata berkisah asal usul kemunculan legenda Raja Arthur dengan pedangnya yang superior, Excalibur. Ritchie, dalam pandangan saya, berusaha menunjukan konteks sosio-politis dalam sejarah kerajaan Inggris Raya (sejarah peradaban Anglo-Saxon). Konteks itu adalah aliansi bangsawan dan penyihir yang menopang tegaknya sebuah monarki. Karena itu, mantan suami Madonna ini, berusaha memberi bobot "yang mungkin secara sosiologis" dari kelahiran raja Arthur yang menjadi legenda.
Bobot itu adalah menyampaikan pesan bahwa tipe pemimpin seperti Arthur dilahirkan dari kehendak kekuasaan yang sakit, direpresentasi oleh adik ayahnya dan riwayat hidup Arthur yang terbuang dan tumbuh dari rumah prostitusi. Arthur memang memiliki trah raja namun porsi paling besar yang membentuk kualitas dirinya adalah lingkungan jelata yang keras. Tipe pribadi hebat yang dibentuk oleh kehidupan politik yang busuk.
Hanya saja, di tampilan visualnya, Ritchie sepertinya belum pergi jauh dari teknik visual Sherlock Holmes.
Ada pun Wonder Women, kisah komik dari garis produksi superhero Marvel, mengambil tilikan dari mitologi dewa-dewi Yunani. Khususnya adalah dendam kesumat dewa Ares yang tidak pernah percaya pada potensi manusia yang diciptakan ayahnya, Zeus. Manusia hanyalah sumber keburukan dan kejahatan. Dus, dalam teks teologi, Ares yang merupakan dewa perang adalah perlambang dari iblis yang melawan kehadiran Adam.
Sedangkan Wonder Women adalah sebaliknya, tentu saja. Ia adalah perlambang dari kepercayaan pada potensi manusia. Biografinya, dalam tafsir Jenkins, dibentuk oleh lokus budaya yang khusus: dunia penuh ksatria perempuan yang terpisah dari peradaban modern yang sedang terjebak perang melawan Nazisme.
Pertentangan nilai transenden seperti ini yang dihadirkan Jenkins dalam wujud konflik antara Amerika dan Jerman, antara pengusung humanisme dengan rasisme (jangan lupakan, Nazisme muncul dari kehendak memurnikan ras Arya ala Hitler). Sementara Amerika modern dibentuk oleh migrasi anak keturunan Anglo-Saxon. Singkat cerita, Wonder Women masih berdiri secara vulgar dalam cangkang lama idealisasi superhero Hollywood. Tidak menarik.
Sementara Transformers, yang masih meneruskan kisah-kisah sebelumnya tentang aliansi robot-manusia dalam melindungi bumi dari kolonisasi robot yang jahat, "secara aneh" memasukkan legenda Raja Arthur ke dalam inti cerita. Michael Bay berusaha menunjukan jika persekutuan robot dan manusia sudah dimulai sejak kemunculan raja Arthur dalam memenangkan perang melawan pamannya.
Kisah pertempuran ini tertutup oleh narasi sejarah yang bukan saja membuat keterlibatan bangsa penyihir namun juga para robot terpinggirkan karena berfokus pada humanisme. Bay seperti hendak menunjukan "tragedi subyek pencerahan".