Sebuah persimpangan dengan traffic light selalu adalah ruang untuk memastikan dua kehendak.
Ruang yang mengawasi keteraturan tetap berjalan. Memastikan hiruk pikuk jalanan masih dalam takar yang normal: koridor yang menggilir kesibukan selaras pada tujuan-tujuannya. Atau kerinduan pulang ke kehangatannya, andai masih ada. Dan ia juga ruang yang memaksa untuk menunggu; menanti giliran dan bergerak sesuai kesempatan. Terabas akan melahirkan petaka satu untuk semua. Selanjutnya, histeria. Ketakukan pada chaos.
Aku dan kamu adalah kecemasan menuruti "yang normal" berjaga dan merelakan berkumpul dalam giliran. Memaksa kita tunduk kedalam menerima.
Kita telah dikalahkan walau berkali-kali melayaninya. Bertahan dari sebuah sudut senyap. Sudut yang memilih sebagai ruang jeda bagi sedikit pelepasan lelah. Sudut dengan dinding gelisah dan beratap puing-puing doa tua yang lelah dan dilupakan kota. Sudut dari bertahun-tahun berusaha menyamarkan putus asa.
Kita bahkan berkali-kali dipaksa untuk pergi. Pergi tanpa rute hendak kemana. Pergi tanpa tahu jalan untuk pulang. Sedang ini bukan hari perang. Ini hanya seleksi zaman, kata tuan-tuan. Namun sudut itu masih memiliki tangguh, sukses bertahan dari diremuk takluk.
Satu yang memaksa kita benar tunduk hanyalah waktu:
hari ketika persimpangan merambah sudut-sudut yang jauh. Traffic light mengawasi hingga di depan pintu kamarmu.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H