Lihat ke Halaman Asli

S Aji

TERVERIFIKASI

Story Collector

[Mudasiana] Lee Cooper-Tira, Saya dan "Counter Culture"

Diperbarui: 3 Maret 2017   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: JRM-Studio

Imajinasi akan jeans sebagai lambang pekerja lagi macho menjumpai saya dalam masa yang sedang remaja.

Masa dimana televisi belum menjadi perpanjangan tangan dari imajinasi lewat iklan-iklan. Saat itu baru ada majalan remaja, Hai untuk maskulinitas dan Aneka Yess! bagi feminitas. Sesudah tahun-tahun bersama Bobo, Asterix, Tapak Sakti, Tiger Wong, Kungfu Boy serta Kenji, saya membaca kedua ikon budaya pop remaja itu dengan cara meminjam. Ini berlangsung di Jayapura, Papua.

Jayapura kala itu, tahun-tahun menjelang runtuhnya rezim Orde Baru, belum memiliki pusat belanja sekelas mall, yang disebut-sebut sebagai katedralnya orang modern. Hanya ada supermarket dan toko pakaian dengan merek yang tidak dikenal majalah. Merek pinggiran, non-major label, murah(an).

Saya baru punya jeans sesudah Soeharto jatuh. Dan itu di Manado, sebuah kota pesisir di tepian laut Pasifik yang sedang berlomba-lomba menjadi salah satu sirkuit penting konsumsi di jazirah Sulawesi.

Ada dua cara memperoleh celana yang merupakan temuan kolaboratif Jacob Davis dan Levi Strauss di tahun 1873 ini. Pertama, sebagai warisan, yang saya terima dari kakak sepupu, seorang profesional muda di perusahaan farmasi dan kedua, membeli jeans bekas milik seorang teman seangkatan di fakultas.

Yang dari warisan kakak sepupu tidak terlalu saya cintai walau tetap memakainya ke ruang kuliah atau sekedar bagian dari saksi sunyi kala nongkrong di ruang terbuka menunggu mahasiswi fakultas Ekonomi melintas sekali pun tak ada satu yang menganggapku ada.

Maksudnya, saya tidak punya celana yang lain atau benda pantas sebagai perlengkapan tubuh untuk gaul dengan selera saat itu. Pasalnya, ada beberapa potong pakai saya adalah warisan dari Opa dan adik ibu, bermerek Walrus—merek yang juga top di majalah remaja selain Crocodile. Ayah sendiri tidak menyukai jeans, mencucinya repot. Dan guru produk 60-an tidak berdiri di depan kelas dengan celana jenis ini. Mereka generasi cutbray. Singkat berita, tidak ada gen pemuja jeans dalam keluarga kami.

Sedangkan yang saya beli dari seorang teman itu adalah celana panjang merek Lee Cooper, berwarna biru muda pudar. Lee Cooper adalah merek ciptaan oleh Morris Cooper, sosok yang melahitkan perusahaan produsen pakaian kerja, The Morris Cooper Factory tahun 1908 di London.  

Jeans ini sesungguhnya sudah setengah belel, menunggu sobek di bagian lutut dan paha. Kondisi belel yang membuat jatuh cinta saya begitu kuat. Yang sudah setengah begini akan mendukung kehendak terlihat urakan dan semua suka-suka saya! Selain itu, bahannya yang lembut dan tidak mempercepat keringat di bagian-bagian rahasia merupakan alasan pelengkap yang penting dipegang mengingat saya hidup di sebuah kota tropis dengan garis pantai yang indah.

Saya menubuhi Lee Cooper hampir setiap hari, setiap  pergi ke perkuliahan, keliling ke tempat buku-buku tua atau menghadiri undangan organisasi mahasiswa. Aksi Massa? Pernah dong. Bisa sebulan atau berbulan-bulan celana ini menempel di pantat sedangkan baju atau kaos sudah berganti modelnya. Maka itu abadi terlihat dekil, kucel dan menjijikan tapi justru karena inilah, menjadi kelihatan tidak ambil pusing. Persetan dengan mahasiswi Fekon. Ini yang bikin celana jeans warisan seharga seratus lima puluh ribu ini bermakna!

Jadi, kalau si Ringgo Agus Rahman, artis yang bisa berbulan-bulan hidup dengan jeans tanpa dicuci, itu bukan perkara yang penting dipublikasi. Penikmat celana jeans yang ideologis pasti mengadopsi jalan Urakan Anti Cuci. Maka biasa aja keleees, Nggo.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline