Lihat ke Halaman Asli

S Aji

TERVERIFIKASI

Story Collector

[Cerpen] Sandiwara Radio

Diperbarui: 4 November 2016   14:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: wordpress.saints.nsw.edu.au

Baru saja, ayamku mati digilas roda pengojek yang melaju. Diboncengannya, perempuan dengan perut besar sedang histeris, “Suamiku sudah tidak bertelur di rumah." Sebab tak tahu harus bagaimana, polisi menyewa jasa transport daring mengantar perempuan itu ke rumah penyembuh korban selingkuh.

Betinaku itu satu-satunya piaraan yang tersisa sejak hidup di rumah bagiku adalah kesaksian tanpa kenangan atau kenangan tanpa ingatan. Kata Pringgo, temanku yang ahli menyamarkan kebuayaan dalam dirinya, “Dengan beternak kau boleh belajar menghargai hidup manusia. Sekalipun kisahnya hanya pengulangan sia-sia.” Aku mengikuti terawangan Pringgo.

Tak lama kemudian, seorang perempuan yang wajahnya lebih pucat dari kulit langsat kesurupan di halaman rumah. Belum lagi betina yang mati tergilas itu kumakamkan dengan layak, ia membuat kematian menjadi lebih gerah. Histeris berteriak di wajahku. “Istrimu telah menjadi sundal di pasar. Dasar, lelaki bejat !” Ini perempuan yang kesekian datang mengutukiku seperti ini.

Sejujurnya aku bingung, yang sundal siapa, yang bejat kok aku? Mengapa mereka harus berpasangan lantas mudah sekali menjadi terkutuk keparat?

Untung saja masih ada polisi yang tadi. Dua kali, dengan jasa antar yang sama, perempuan yang mendadak orang suci ini diantar pula ke rumah perawatan korban kebejatan. Letaknya bersebelahan dengan rumah yang pertama.

Aku masih bingung. Mengapa orang mudah histeris kala kehilangan, kecewa atau terluka hatinya? Sejak kapan mereka datang ke muka bumi dengan stempel kepemilikan?

Aku belum lama kehilangan istriku, lahir dan batin. Kini ayam betinaku.

Aku pada akhirnya menerima itu selayaknya jalan cerita pada sandiwara radio yang bersambung terlalu lama. Di depan sandiwara radio, telinga diam mendengar, pikiran membayang kemana-mana. Hanya dengan bergantung pada suara. Mata bukan saja tidak melihat, kadang-kadang, ditutup agar lebih bisa khusyuk memeram suara.

Ketika sandiwara radio itu selesai, telinga-telinga pergi ke warung kopi. Duduk berjam lama untuk membicarakan suara yang baru saja tertanam di kepalanya. Mereka hanya bercerita yang sama dengan emosi yang berbeda.Tak ada suara baru, tapi mereka nyaman seperti itu.

Emosi yang berbeda pada cerita yang sama! Ini perkaranya. Inilah persoalan beratku. 

Karena itu aku sering bertanya pada Pringgo, bagaimana resep hidup sebergairah dirinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline