Menjadi manusia digital adalah menjadi manusia yang terlibat dalam dunia yang dilipat.
Yakni sejenis dunia di mana kecepatan produksi-konsumsi-reproduksi informasi bergerak begitu cepat melintasi batas-batas geografi. Kecepatan informasi yang membuat kesadaran manusia sibuk setiap detik. Selain itu, dunia yang dilipat juga menandakan kekuatan simulasi citra-citra yang ketika ia mencapai kepalsuan yang sempurna, ia menjadi hiper-realitas. Di saat bersamaan, dunia yang dilipat adalah semesta yang sudah tanpa ideologi dan kebenaran tunggal. Ideologi dan kebenaran tunggal yang menjadi aparatus sensorik hingga ke kamar tidur.
Pada dunia yang seperti ini, secara negatif, kesadaran manusia mudah menjadi nomad-nomad digital. Ia mudah berpindah-pindah kanal semudah pergerakan jari jempol pada layar gadget. Ia dirangsang untuk selalu aktif terlibat dalam keramaian virtual. Ia juga selalu didesak bertindak tanpa memahami secara utuh; lekas menjadi latah dan reaksioner. Bahkan dalam skala tertentu, sikap latah dan reaksioner itu diterima sebagai sesuatu yang banal.
Namun secara positif, dunia yang seperti ini adalah dunia yang berlimpah dengan informasi yang bisa diperoleh secara gratis tanpa harus selalu berhubungan dengan sistem-sistem ahli (expert system). Dunia yang dilipat juga memudahkan manusia saling bersimpati dan bergerak secara langsung walau tidak terikat dalam lokus geografi yang sama. Karena itu ada yang mengatakan jika internet adalah the great equalizer: membantu manusia setara secara pengetahuan.
Manusia digital mengada dalam pilihan menjadi nomad yang latah, gaduh dan terprovokasi dengan keramaian yang absurd atau sebaliknya, memanfaatkan digitalisme untuk mengembangkan sikap-sikap kritis dan kehendak berbagi yang merawat kebaikan hidup bersama. Ini artinya manusia sedang ditantang untuk selalu bersikap kritis sembari saat bersamaan mengembangkan nilai-nilai yang merawat kebaikan umum pada kehidupan yang majemuk dalam jagat sosial pun digitalisme atau sebaliknya.
Dua Strategi Berjalan: Online-Offline
Kita tahu bahwa membangun dan merawat kerukunan lintas iman dalam hidup bernegara-bangsa adalah problem peradaban dunia. Terutama ketika dihadapkan dengan persebaran pikiran dan keyakinan ekslusif (: meyakini sebagai satu-satunya pemilik kebenaran dan keselamatan) yang bersenyawa dengan pembenaran kekerasan sebagai cara mencapai tujuan. Persenyawaan yang kemudian melahirkan jejaring teror dengan kemampuan meledakkan dirinya dimana-mana.
Bumi manusia menjadi hidup dalam kecemasan global.
Pikiran dan keyakinan ekslusif juga memiliki kecenderungan "menolak sekularisasi dan produknya"--yang melahirkan negara bangsa dan globalisasi--dengan mengajukan klaim ideal peradaban dan masa depan sejarahnya sendiri. Karena itu, keyakinan dan turunan gerak ini selalu bisa eksis selama negara-bangsa dan globalisasi terus menjadi "produsen masalah" yang melahirkan perasaan tidak adil dan direndahkan sebagai golongan manusia.
Karena itu juga sebaiknya tidak diandaikan kesadaran yang tumbuh bersemarak dengan klaim ekslusifisme adalah jenis yang tumbuh dan bersemi pada zaman kuno lantas sedang memaksakan survive di era digital. Ekslusifisme dengan “politik gerak sentrifugal” yang melawan secara total adalah sesuatu yang fleksibel, selalu membarui metodenya dan memperluas sasaran pengaruhnya. Salah satu wujudnya adalah selain membangun jaringan kerja yang solid dan cenderung tertutup (klandenstein) di masyarakat, mereka juga memperluas ide-ide dan pengaruhnya ke ranah digital. Yang sosial dan digital dibuat menjadi sejalan dan saling memperkuat.
Dengan kata lain, dari perspektif kewargaan digital, untuk merawat visi dan aksi merawat kerukunan di era sosial media strategi yang dibutuhkan pun menjadi dua arah: online dan offline. Strategi dua arah yang sebenarnya sudah menampilkan dirinya di hiruk pikuk digitalisme dan menjadi narasi tandingan (counter narrative) terhadap radikalisme.