Karto sekarang sedang punya keasyikan baru. Hari-hari yang biasa menunggu warung kecilnya kini bukan lagi perkara membosankan.
“Tapi kamu jangan keseringan pesbukan, To. Nanti pembelimu kabur, merasa tidak sepenting dulu.”
Juki pernah berpesan begitu ketika menjumpai Karto sedang kaku dengan mata menyipit dan alit bertaut di depan layar hape-nya yang baru. Dan Juki harus memanggilnya dengan setengah berteriak. Juki memang lapar berat siang itu.
Pernah juga Juki harus mencari-cari Karto ke seluruh penjuru desa karena warungnya dibiarkan tanpa penunggu. Sementara beberapa bocah sedang menanti dilayani. Ternyata Karto sedang sibuk memotret jalan-jalan desa dan rumah-rumah warga. Sesekali ia memotret dirinya sendiri sambil tersenyum.
“Tenang saja Ki. Tidak perlu gusar,” jawab Karto. Tanpa sedikit pun berpaling dari layar kecil di tangannya.
Juki tersinggung dan merasa seperti berbicara pada robot. Ini sudah kesekian kali terjadi. Siang itu Juki balik kanan, memutuskan mengisi perut di warung Bule Ijah.
Selain Juki, Imah juga merasakan perubahan yang sama.
Karto sudah jarang menyapa pembeli baksonya. Dulu Karto sering menemani mereka makan dengan cerita-cerita yang tiada habis. Ada-ada saja bahan yang ia ceritakan. Imah sering merasa, kalau makan bakso di warung Karto, seolah sedang mendengar radio tua bersama ayahnya. Radio itu sudah rusak bersamaan dengan mangkatnya si bapak.
Imah menjadi kecewa dengan perubahan Karto sejak ada alat komunikasi itu. Ia kehilangan nostalgia radio tua dan ayahnya. Bermain pesbuk membuat Karto seperti tiada.
Orang terakhir yang menunjukkan ketidaksukaannya terhadap perubahan Karto adalah Jum.
Tapi alasannya berbeda. Jika Juki karena merasa pembeli adalah raja, Imah kehilangan nostalgia radio tua dan ayahnya, maka Jum karena alasan yang lebih pribadi.