Lihat ke Halaman Asli

S Aji

TERVERIFIKASI

Story Collector

Politik dan (Kebutuhan) Prosedur

Diperbarui: 27 Maret 2016   15:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sedangkan sebetulnya cara mendapatkan hasil itulah yang lebih penting daripada hasil sendiri.
(bab 3, ilmu alam -science page 99)”
― Tan Malaka, Madilog

***

Si Burung Merak, budayawan WS. Rendra pernah menggambarkan watak politisi pada puisi yang saya lupa judulnya. Tapi inti puisi itu kurang lebihnya berkata para politisi sangat senang dengan panggung, massa, dan bendera-bendera. Politik dalam kesenangan seperti demikian adalah pertunjukan selebrasi dan bukan politik itu sendiri. Dalam selebrasi, politik segera saja menjadi tak ada beda dengan kegaduhan infotainmen. Politisi menjadi setali tiga wajah dengan artis, sisi yang real dan virtual susah dibedakan. Maka bayangkan saja seorang artis yang masuk dunia politik dengan gairah selebrasi yang dominan dibanding gagasan politiknya. Kusut dah.

Persinggungan atau percampuran selebrasi dengan politik inilah yang kini meriah sekali di era digitalisasi demokrasi. Panggung politik bukan saja menampilkan politisi yang gemar memoles wajahnya di depan sorot kamera untuk melayani polemik yang dangkal atau juga menjadi gaduh dengan kontroversi yang merawat dungu. Namun juga, mungkin ini yang lebih penting diselami, keriuhan selebrasi itu menunjukan berkembangnya satu kecenderungan yang mencemaskan.

Kecenderungan mencemaskan tersebut adalah politik menjadi dunia yang semata praktis, kalkulatif, instrumentalis. Politik dan politisi menjadi dunia yang menjadikan arti kekuasaan layaknya aset, barang/benda, kepemilikan juga ajang perebutan dan kontrol benda-benda dengan menghalalkan segala cara. Sudah begitu, diwariskan lagi, semprul. Yang terjadi kemudian adalah politik terlepas dari gagasan fundamental yang berakar pada tiga substansi: kedaulatan, keadilan, serta kebebasan dan partisipasi. Dalam timbangan filsafat, politik (politics) yang mengabaikan tiga substansi ini menjadi terlepas dari Yang Politik. Politik yang sedemikian sejatinya sih sudah mati.

Tapi dalam keterbatasan saya, mendiskusikan politik dengan yang Politik masihlah sesuatu yang terlalu berat. Bukan apa-apa, percakapan ini “hanya nendang” kalau sudah membaca secara benar dan mendalam perenungan dari Slavo Sizek, Alain Badiou, Claude Lefort, Ernesto Laclau, Chantal Mouffe, misalnya, sembari menyambungkan keanekaragaman gagasan mereka dengan permenungan yang lebih dahulu ada. Khususnya dari mereka yang mengeritik keras sistem dan praktik demokrasi prosedural. Saya belum mampu dan tidak berani sekedar menggunakan nama-nama besar itu demi membesarkan nama sendiri. Ini mah namanya modus.

Saya hanya tergugah dengan pertanyaan K’ers Mas Dwi Grepong tentang proseduralisme politik. Mungkin maksud pertanyaannya adalah bagaimana hubungan antara proseduralisme dalam politik. Jawaban malasnya: hubungan mereka baik-baik saja Dwiii Grepong, hak hak hak. Jawaban rajinnya, ini yang bikin sakit kepala. Tapi mari mencoba saja, tentu menurut yang saya maknai dengan sangat terbatas dan semoga menjawab pertanyaan kentir tersebut.

Ijinkan saya mengurai dari sedikit pengertian yang saya miliki. Yang mungkin akan jadi fokus adalah kebutuhan proseduralisme dalam kehidupan politik yang tampaknya belum cukup dibangun atau lebih karena sengaja dibiarkan, khususnya diantara partai dan rakyat.

Saya tidak yakin penjelasan ini benar dan yang kedua, bisa menjawab pertanyaan kentir itu. 

Politik dan (Kebutuhan) Prosedur

Saya mencoba melihat hubungan keduanya dalam tiga substansi di atas yakni makna kedaulatan, keadilan dan kebebasan serta partisipasi. Dwi Grepong, siap-siap. Bacalah dengan kekentiran tingkat langit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline