Lihat ke Halaman Asli

S Aji

TERVERIFIKASI

Story Collector

Memaknai Surat Cinta Buffon

Diperbarui: 5 Juli 2020   12:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: vk.com"][/caption]

Sesudah berhasil menciptakan rekor clean sheet terlama sepanjang sejarah Serie A, kiper Juventus yang juga Tim Nasional Italia, Gianluigi Buffon (38) menulis surat cinta yang manis sekali. Surat cinta yang sangat puitis:

"Usiaku 12 ketika aku mulai memalingkan wajahku darimu, melupakan masa lalu demi memberimu jaminan di masa depan. Aku sudah bertindak menurut kata hati. Aku telah bertindak dengan naluri. Tapi di hari ketika aku berhenti menatapmu juga menjadi hari aku mulai mencintaimu.

Untuk melindungimu, demi menjadi pelindungmu yang pertama dan terakhir, aku sudah berjanji pada diri sendiri agar tidak lagi sering-sering melihat wajahmu. Atau aku akan melakukannya sejarang mungkin. Setiap kali melihatmu rasanya menyakitkan; membalikkan tubuhku dan menyadari bahwa aku sudah mengecewakanmu. Lagi. Dan lagi.

Kita selalu berada pada dua titik berbeda tapi kita saling melengkapi, seperti mentari dan rembulan. Terpaksa hidup berdampingan tanpa bisa saling lama-lama bersentuhan. Lebih dari 25 tahun lalu aku sudah membuat ikrar; aku bersumpah melindungimu. Menjagamu. Menjadi perisai dari seluruh musuhmu. Aku selalu memikirkan kepentinganmu, meletakkannya di atas kepentinganku sendiri.

Usiaku 12 ketika aku mulai memunggungi gawang. Dan aku akan terus melakukannya selama kaki, kepala, dan hatiku masih mampu."

Surat cinta yang indah bukan?

Dalam andaian saya, surat seperti ini, di mata mereka yang tidak mengerti sepak bola pun bisa diajak menikmati sisi yang sangat romantis dari surat tersebut. Kecuali terhadap mereka yang membenci, surat ini akan tampak seperti igau diri yang aneh. Cinta memang tidak pernah mekar bersama kebencian.

Buffon memang bukan saja penjaga gawang yang kharismatik. Surat cintanya menunjukkan dia tipikal lelaki Italia yang romantis. Konon memang begitu katanya.

Tapi saya lebih senang melihat surat cinta Buffon yang sangat puitis itu dalam perkara yang mungkin lebih luas dari sekedar mengejar-tendang si kulit bundar. 

Perkara yang saya maksudkan adalah tentang manusia--yang disebut Johan Huizinga--sebagai Homo Ludens, makhluk yang bermain. Karya Huizinga dengan judul yang sama ini pernah diterjemahkan oleh LP3ES di sekitar tahun 80an, kalau tak salah ingat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline