Lihat ke Halaman Asli

S Aji

TERVERIFIKASI

Story Collector

Politik, Provokasi Primordialitas dan Dua Tantangan Sikap

Diperbarui: 16 Maret 2016   15:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi politik. sumber : pamirtimes.net"][/caption]Memang sudah sejak lama keriuhan politik tidak pernah bisa bersih dari cara-cara yang gemar mengeksploitasi atribut primordial manusia ketika bertarung rebut pengaruh. Jangankan terhadap kesadaran yang awam, kaum intelektual atau mereka yang merasa intelek pun bisa tersungkur dalam cara berpikir-bertindak demikian. Bahkan jika kita perluas, dalam lingkup kebudayaan, kegemaran mengeksploitasi atribut primordial manusia demi memenangkan pengaruh politik pun tumbuh mekar atau menjadi latency yang lintas budaya.

Indonesia, salah satu simpul pinggiran dalam sistem dunia kapitalisme lanjut, pun termasuk yang memiliki keriuhan politik demikian. Tidak terbatas pada pilpres, pada banyak pilgub masih mudah sekali ditemukan provokasi primordial yang sesungguhnya mencemaskan. Tidak sebatas DKI, di daerah juga mudah sekali mendengar provokasi sejenis. Tak hanya di desa yang konon memiliki tingkat homogenitas sosial tinggi, di kota-kota yang (juga konon) menjadi lokomotif modernitas, laku provokasi seperti ini kenyal bertahan.

Ironisnya, kita menyadari bila republik ini tidak didirikan oleh salah satu etnis atau golongan tertentu, namun masih saja mudah menonjolkan klaim dominasi golongan tertentu. Bahkan dalam klaim yang lebih radikal, kita (seharusnya) percaya bahwa di kepulauan Nusantara yang sarat perlintasan dan percampuran budaya Timur dan Barat, yang disebut genuine itu hampir mustahil ditunjukan. Tapi kita masih saja merawat ilusi bahwa kita yang paling berhak memutuskan hal-hal strategis karena mentalitas mayoritas.

Saya tidak mencari penjelasan pada narasi masa lampau atau konstruksi sistem ekonomi dan politik yang menciptakan lingkungan subur bagi pertumbuhan cara pandang negatif terhadap perbedaan atribut primordial manusia seperti etnisitas dan struktur ras atau juga agama. Dalam keriuhan politisasi atribut primordial yang selalu ramai berseliweran lagi di cyber world kala musim pemilihan kembali, saya hanya ingin menunjukkan dua cara pandang atau bersikap yang acapkali diabaikan.

Cara pandang yang sering dilupakan ketika provokasi berkembang makin liar lantas bergulung seperti bola salju dan hanya berhenti di ujung putaran atau menghantam benda yang lebih keras dari dirinya. Provokasi yang berhenti ketika segalanya sudah remuk berantakan.

Kembali pada dua Cara Padang atau Sikap

Apa cara pandang atau bersikap yang sering diabaikan itu?

PERTAMA, cara pandang anak-anak.

Nietzsche—hadoh, mengutip manusia ini lagi-- pernah bilang kita tidak sempurna menjadi orang dewasa jika tidak pernah menemukan (lagi) kesungguhan anak-anak dalam bermain.

Kita tahu bersama, bahkan pernah mengalaminya, dunia anak adalah dunia yang tumbuh memelihara dirinya dalam perjumpaan langsung yang masih tanpa kategori, tanpa prasangka, tanpa kecurigaan negatif dan tanpa sikap merasa paling benar. Anak-anak belum memiliki definisi dirinya berbeda dalam perjumpaan tersebut. Bahkan situasi perjumpaan disambutinya dengan antusiasme yang asik dan bergembira dalam bermain bersama.

Hemat saya, pada fase seperti ini, dunia anak belum memiliki "aku yang kaku atau ekslusif". Bukan pula aku yang menunjukan tingkat pertembangan individu menuju arah yang semakin dewasa dan menyambut perbedaan sebagai kekayaan yang dibutuhkan demi mengenal arti diri dan Sang Pencipta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline