Saya pernah berharap terbangun dan mendapati situasi berikut:
Ketika berdiri di depan teras, langit sudah sobek, gunung luruh, pepohonan terbenam ke dalam tanah. Alam tak lagi ada. Yang tersisa manusia. Bukan karena kiamat. Tapi tetiba saja semua kembali ke titik hanya ada manusia. Jalan-jalan raya musnah dari atas tanah. Gedung-gedung besar tanda dari kehadiran politik dan ekonomi pun tak lagi bernafas. Kendaraan-kendaraan yang hilir mudik berhenti semua. Tak ada yang bergerak, tak ada dinamika, tak ada daya manusia. Bahkan matahari, bulan, bintang juga pergi entah kemana. Cakrawala tak lagi memiliki senja dan purnama.
Ketika masuk ke dalam rumah, benda-benda juga menjadi barang asing. Meja, kursi, piring, sendok, televisi, PC, televisi, gadget, semuanya menjadi benda yang tak pernah saya ketahui apa fungsinya dalam hidup manusia. Saya melihat jam, jarumnya berhenti. Angka-angka di dalamnya ikut tak berdetak. Tak ada tik tak tik tak, tidak menyampaikan apa pun. Waktu tidak lagi memiliki daya disiplin dan pengingatnya.
Dunia menjadi chaos. Chaos yang total.
Tinggal saya dan keruntuhan segala rupa pengertian yang selama ini dibentuk secara sosial juga historis. Tersisa saya dan kehancuran pegangan dan rasa percaya bahwa saya ada dan mengendalikan hidup sendiri.
Harap yang aneh seperti ini kembali muncul karena dua stimulan. Pertama, sesudah menonton film Victor Frankenstein dan kedua, menyimak (lagi) kuliah-kuliah filsafat Romo Setyo Wibowo. Tapi, kali ini, semoga harap aneh itu sudah menemukan jawabannya. Paling kurang untuk sementara.
Jadi, bila sudi terus lanjutkan membaca, mari sama-sama kita lihat pesan dari film Frankenstein dengan situasi kekinian manusia.
Kehendak Menjadi Tuhan dalam Narasi Pemberontakan Gagal Frankeinstein
Victor Frankenstein (2015) adalah film yang menunjukan usaha manusia menantang takdir kematian, menantang ketiadaan. Jika dilihat dari sudut pandang Albert Camus, kematian adalah satu-satunya yang pasti, bukan hidup sesungguh apapun manusia berjuang terhadapnya. Sebab itu, hidup adalah peristiwa yang absurd. Victor Frankenstein boleh juga dibaca sebagai film yang menceritakan usaha membalik tesis Camus tersebut. [Untuk membaca sinopsis film ini, silahkan ke sini]
Dalam satu penggal dialognya, Victor berkata jika hidup itu sementara, mengapa tidak dengan kematian?
Mengapa kita tidak membuat kematian menjadi sementara, seolah sebuah jeda dalam perjalanan hidup saja? Kalau kematian boleh serupa jeda saja maka para leluhur yang telah pergi itu bisa dihidupkan kembali pada hari ini. Sehingga saya bisa tahu sesungguhkan DNA diri berasal dari penduduk awal penghuni Nusantara atau DNA pengelana yang datang dari negeri yag jauh?