Lihat ke Halaman Asli

S Aji

TERVERIFIKASI

Story Collector

Gotong-royong 100 Puisi dan Ajakan Empati Kita

Diperbarui: 4 April 2017   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"yang fana adalah waktu, kita abadi!" [SDD]

 

Kerja gotong-royong 100 puisi orang-orang kecil ternyata memproduksi karya yang mencapai 200an dengan keterlibatan sekitar 100 Kompasianer. Ini masih perhitungan sementara yang dilakukan oleh DesoL. Yang pasti, ini jumlah karya dan pelibatan diri yang luar biasa! Ini di luar perkiraan. Karenanya kami menyampaikan terimakasih yang tulus untuk kita semua yang sudah meluangkan pikiran, tenaga, waktu dan pulsanya dalam gotong royong puisi tersebut. Yang tidak terlibat, tetap terimakasih karena sudah sudi membaca dan merelakan matanya berjumpa kode [100puisi] yang mungkin menjemukan.

Sekali lagi, salut dan hormat untuk kita semua.

Sesungguhnya 100 puisi ini hanyalah sebuah ajakan, paling kurang rangsangan. Saya dan DesoL kiranya hanya mediator yang mengajak pada kita. Ajakan ini bisa dinilai sebagai panggilan pada nurani untuk menyuarakan hidup orang-orang kecil, menyuarakan hidup kita sehari-hari. Ajakan ini juga bisa dimaknai sebagai panggilan untuk melibatkan puisi ke dalam peristiwa sehari-hari, menjadi realis, tidak mengawang terbang dan mengurung makna dalam kata-katanya sendiri.

Apa maksud puisi yang terlibat dalam peristiwa sehari-hari manusia? Tidakkah puisi hanya lahir dari manusia yang masih hidup dan memiliki hari-harinya sendiri? Atau jangan-jangan, kita tidak sedang menulis puisi karena tidak mengikuti tetek bengek kaidahnya yang terlanjur dibakukan?

Yap, setuju bahwa selama manusia hidup, puisi selalu lahir. Tapi tidak semua hari memungkinkan lahirnya puisi yang melukiskan orang-orang kecil. Tentang kesengsaraan, penderitaan, penghinaan, kekalahan, kemarahan, daya juang dan daya tahan, juga harapan-harapan mereka. Dengan puisi, kita hanya memilih sejenis cara untuk mengungkap itu, bukan otomatis mengubahnya.

Terhadap puisi, saya sendiri tidak memiliki definisi.

Bagi saya segala narasi adalah puisi sejauh ia menggunakan kata-kata yang mengungkapkan keseharian hidup manusia dalam model tutur yang tidak berpanjang-panjang. Puisi bisa mengutamakan estetika kata yang bernyanyi, bisa menyodorkan metafor ganjil yang menghentak. Bisa menyatukan kegetiran dalam parodi yang bikin kita menertawakan penderitaan. Bisa saja menyuguhkan komedi miris yang membuat tertawa sampai menangis. Atau bisa seperti cerpen yang hemat kata dan menggunakan sedikit dukungan riset seperti puisi esai-nya Denny J.A.

Artinya, saya sendiri memang tidak punya pegangan definisi yang pasti. Saya jelas bukan sastrawan, bahkan bukan pembaca-pembuat puisi yang ketat. Satu-satunya alasan pembelaan diri yang naif adalah karena saya menolak bentuk, formasi, dan juga definisi yang tunggal. Maka, kepada para ahli puisi, mohon maafkanlah bila gotong-royong 100 puisi justru dipandang sebagai penghinaan terhadap puisi.

100 puisi dan Ajakan untuk Empati

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline