Di kopinya,
Ayah pernah menyeduh marah,
setiap pagi, berganti hari, begitu seterusnya,
marah yang sama,
marah yang kalah, kata Ibu
bertahun lalu,
sawah harapnya menurun,
luasan panen mimpinya menyusut,
jejak kakinya mulai lupa pada lumpur,
langkah kakinya lalu pendek sekali,
dari dapur ibu ke ruang tunggu lamunan,
sejak pagi hingga malam menggenang,
di teras rumah, di bawah genteng yang lepas
kesaksiannya berjungkir makna,
dari bunyi roda kayu dan dengus kerbau,
dalam musim-musim panen yang gembira
berganti jejak roda truck, dari bau solar knalpot pembangunan,
hilir mudik menginjak rasa kalahnya,pelan-pelan menimbun marah, marah yang setia
di kopinya,
ayah kini mulai ganti menyeduh darah,
darah yang kalah, meneguknya setiap senja, memaksanya terjaga sepanjang masa
kemudian, menyerah!
Setahun kemudian,
Di kopinya,
Ayah yang sudah menyerah
berganti Ibu yang marah,
di kopiku,
Ibu memilih menyeduh ayah,
ke dalam kopi yang ku minum selalu
ketika terik mengajak,
menghadang racun solar knalpot-knalpot pembangunan,
Di kopi ayah,
Aku menolak ramah!
[2016]
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H