Lihat ke Halaman Asli

S Aji

TERVERIFIKASI

Story Collector

Daya Pukau Sinetron dan Permainan Kuasa Tontonan

Diperbarui: 21 Januari 2016   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - menonton televisi (Shutterstock)

Daya pukau tayangan sinetron barangkali sudah seperti bisul yang tumbuh pada hidung yang tak mancung*). Ia menghadirkan kepalsuan bersama rasa sakit yang dinikmati dengan dalam perayaan.

Maksudnya apa?

Sebelum masuk ke dalam gambaran arti kata-kata di atas, saya mau menunjukkan kasus, pengalaman langsung dalam memperlakukan sinetron.

Kasus pertama :

Ketika itu, suasana negeri sedang menuju pemilihan presiden 2014. Saya sedang berada di desa yang sinyal tiada, kegelapan sudah jadi barang biasa. Untuk menikmati televisi, warga desa harus punya mesin genset dan tentu saja keluar sepuluh ribu rupiah. Sepuluh ribu bukan uang yang kecil pada desa yang warganya bertahan hidup dari mencari ikan di sungai, berpadi ladang, dan berkebun tanaman buah dan getah (karet). Tapi dalam kesulitan itu, ada saja yang sudi membakar uang untuk menikmati televisi dari siaran antena parabola.

Di televisi, sinetron yang sedang hot saat itu adalah Ganteng-Ganteng Serigala. Bagi saya, sinetron ini mewakili dua percampuran, kegagalan meniru kisah cinta Vampir gaya Hollywood yang bikin ibu-ibu muda berkumpul di bioskop dan serentak berteriak "oh em jiiiii" dengan ketidakmampuan memisahkan narasi dari mitologi lokal tentang makhluk jadi-jadian yang merawat dungu. Jadi seperti  sempoyongan berdiri di antara tradisi dan modernitas, mabuk.

Selain Ganteng-Ganteng itu, stasiun televisi juga terlibat merawat keterbelahan opini dan pilihan warga terhadap pilpres 2014. Saya sendiri sudah jengah dan merasa tidak lucu jika di desa seperti ini penduduknya sibuk bertengkar pada perkara yang seolah di istana Zeus nan megah, sementara kita di sini adalah Sisyphus dengan absurditasnya sendiri-sendiri. Gak lucu!

Untuk menghalau ketidaklucuan gegara politik yang sakit itu, saya membeli minyak dan mengajak menonton sinetron saja. Tidak tiap malam dan hanya dua rumah tangga yang sering ikut nonton sinetron itu, salah satunya adalah tim sukses pasangan calon pres-wapres. Maksud saya biar si Bapak ini tidak melulu mengajak warga mendukung salah satu calon sembari ikut-ikut terbelah gaya televisi.

Jadi pada kasus pertama ini, saya menggunakan sinetron untuk meniadakan (berita) politik. Apakah berhasil? Tidak tahu. Saya tidak mengukur satu-satu dampak yang bekerja di kepala mereka yang nonton, kan tidak mungkin juga memaksa diri nonton tiap malam, duit dari mana coiii?

Yang ada di kepala saat itu hanya satu hal : lebih baik melarikan diri ke dalam sinetron yang sakit dari pada memikirkan kenyataan dengan politik yang sakit. [aaaakh....]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline