Lihat ke Halaman Asli

S Aji

TERVERIFIKASI

Story Collector

Mengenali "Dua Bahasa" dalam Cerpen

Diperbarui: 26 November 2019   12:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Sastra adalah sebuah transformasi, ketika kita membubuhkan yang imajinatif, menggerakkan kisah, membebaskan yang ada dari kebekuan kata, nama dan harga”
[Goenawan Mohamad, Tutur, Gumam dan Realisme, Menyusuri Novel-novel Putu Wijaya, 2014]

---

Ada salah satu cerpen yang memikat saya di pembukaan tahun 2016 ini.

Tersebutlah K'ers Sarwo Prasojo, si penulis cerpen tersebut. Sarwo Prasojo adalah kolega saya yang juga berlatar belakang “fakultas ilmu santet dan pelet” (hiduup FISIP!! #ikutnumpangbeken), yang menyusun cerita sangat memikat tentang orang-orang kecil kala memaknai malam tahun baru. 

Tentang sepasang suami istri (Jumali dan Karsiem) dari kelas kere yang memiliki kehendak terlibat dalam keramaian massa di malam tahun baru, pergi berdua dengan sepeda, membawa panganan seadanya, duduk agak jauh dan larut dalam keramaian itu dengan tafsirnya sendiri. 

Hingga ketika pulang, mereka berdua kelelahan dan tidur di pos ronda dengan mimpi yang indah.

Dalam cerita itu, sosok yang juga baru menetapkan diri sebagai guru K'ers yang sedang hot-dalam-kejombloannya (aaiah, tetap tabah bro!), si D’kiils Difa, sukses menghadirkan pergulatan batin manusia jelata, kemesraan sederhana dan harapan dalam latar kehidupan masyarakat desa dengan sangat hidup. 

Sebenarnya, membaca beberapa cerpen Sarwo, saya seolah sedang membaca cara bercerita Ahmad Tohari, yang berani mengambil latar tragedi 1965 sebagai latar cerita dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk di era Orde Baru yang sangat sensorik itu. 

Barangkali mereka dua memang memiliki kepiawaian yang mirip—pergulatan dunia manusia pedesaan—sebab sama berasal dari Banyumas. Entahlah, doakan saja semoga dari Kompasiana, Sarwo Prasojo boleh menjadi Ahmad Tohari baru.

Dari membaca cerpen Sarwo tersebut, saya kemudian teringat pada satu ulasan yang dapat membantu saya mengenali “jenis bahasa” dalam cerpen. Ulasan itu saya dapatkan dalam ulasan sosiolog Ignas Kleden kala membedah karya-karya Putu Wijaya, khususnya terhadap cerpen dan novel. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline