[caption caption="Keramba/dok.pri"][/caption]
Putaran waktu baru saja bergeser dari pukul tiga sore.
Dari dalam perahu klotok yang sementara melintas di kanal Hantipan yang airnya kehitaman, saya melihat pelangi itu melukis dirinya di atas sungai Katingan. Hujan baru saja pergi dan kini berganti terik mentari. “Haah, cepatlah sampai,” cemas hati berhentak lagi. Cemas yang sudah mulai bersemi sejak jelang pergantian tahun 2015. Cemas yang terus saja mengental sejak mendengar kabar kematian mendadak ribuan ekor bibit ikan Nila sementara saat bersamaan saya sedang berada di sebuah teritori Indonesia yang lain.
Kematian mendadak itu segera saja menghamburkan bayang-bayang kegagalan.
Begitu perahu kelotok tiba di desa, saya langsung saja bergegas naik di batang rakit dan menuju salah satu keramba. Dua orang pemuda sedang sibuk dengan alat-alat pertukangan di atas rumah panggung. Mengetahui saya datang, mereka tersenyum sebentar lalu sibuk kembali. Saya langsung saja menuju keramba yang mengapung dekat dengan batang rakit tersebut. Lalu duduk dan melihat isi di dalam keramba tersebut.
“Sudah berapa yang mati sampai hari ini?,” teriak saya.
“Sudah sekitar 60-an, seminggu pertama ini. Kemarin dikasih bonus 200-an bibit, jadi totalnya tidak 7000 bibit.” Jawab salah satu saudara saya itu.
Tak lama kemudian, datang seorang perempuan membawa pakan dan selembar catatan. Sembari menaburkan pakan ia menceritakan catatan kematian ikan yang dirangkumnya dalam seminggu pertama sejak dilepas ke dalam keramba tanggal 30 Desember kemarin.
Saya menyimak sebentar lalu memusatkan pandang ke dalam keramba, di bawah sana, ramai anak-anak ikan sebesar ruas kuku orang dewasa asik berebutan pakan yang mengapung.
“Gimana dengan yang mati di kelompok tiga?” tanya saya kemudian.
“Ya itu Ji. Anggota kelompok sudah mengumpulkan uang, swadaya, mereka mau beli bibit lagi sejumlah yang mati itu.” terang perempuan yang kini duduk bersama di atas keramba.