Lihat ke Halaman Asli

S Aji

TERVERIFIKASI

Story Collector

Kaki Tangan

Diperbarui: 16 Desember 2015   10:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Burung besi ini sebentar lagi membawa rinduku menyapamu, menyapa masa lalu kita.

Masa lalu yang tumbuh terseok di halaman depan sebuah kos-kosan berlantai papan. Kos-kosan yang menemani melewati malam dan siang dengan makan di selembar daun pisang, dari duit yang dikumpulkan bersama. Melewati malam dan siang dengan gitar dan kisah-kisah kesaksian, meyakini pilihan dan menjaga harapan. Waktu dan kesibukan tiada boleh mendinginkan persaudaraan.

Empat jam  berlalu, akhirnya aku melihat puncak Gamalama itu. Ah, tanah rempah-rempah yang menjadi lokasi sejarah pertikaian bangsa-bangsa Eropa. Tanah rempah-rempah yang menjadi saksi dari perjuangan dan pengkhianatan. Tanah rempah-rempah yang juga pernah bersimpah darah dari perang saudara ketika penjajah sudah pulang ke rumah.

“Ceritakan tentang kemiskinan Jakarta,” pintamu sesudah jabat tangan hangat. Matahari sedang naik setengah putaran.

Aku diam sebentar. Melihat posturku yang kini sedikit gondrong dengan perut pelan-pelan membuncit, mungkinkah kau berpikir aku sedang bergelimang mapan?

“Aku belajar hidup disana..bukan sedang belajar ka..”

“Ya, aku mengatakan itu jika ada yang bertanya dimana dan sedang apa dirimu.” potongmu lekas-lekas.

Haaah. Syukurlah.

“Kemiskinan Jakarta telah membanting banyak dari cara pandangku. Ia tidak membuangnya, ia memperbaikinya. Ia melengkapi gambarku tentang hidup bertahan sebagai manusia pinggiran.”

Lalu ceritaku mengalir ke perjumpaan-perjumpaan yang mengharukan. Tentang orang-orang tua yang bingung melihat kemajuan. Tentang anak-anak muda yang bingung dengan kenyataan. Tentang perempuan-perempuan yang merawat generasi dari jajanan berbahaya. Tentang tanah dan pekuburan yang tumbuh menjadi supermall dimana suka. Tentang tangan-tangan yang masih berjalan dan tak henti mengawetkan penaklukan demi keuntungan.

“Seharusnya aku menyiapkan ruang berdiskusi, agar kau boleh berbagi kesaksian dengan generasi yang hari ini hilir mudik di kampus.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline