Lihat ke Halaman Asli

S Aji

TERVERIFIKASI

Story Collector

Cerita Pagi dari Anak Sekolah

Diperbarui: 9 Mei 2019   10:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rombongan Anak Sekolah di atas Perahu | Dok. pribadi.

Ada anak sekolah, dalam usia yang masih lagi mereka menuju remaja. Datang dari balik kabut pagi bersama cita-cita dan juga sisa keceriaan. Sebab keceriaannya agak tersamar diselimuti asap.

Setiap pagi mereka datang dengan perahu. Mereka pulang juga dengan perahu. Bersama-sama. Selalu begitu. 

Walau asap ini masih terlalu, pergi ke sekolah rupanya masih sesuatu yang menawarkan bahagia. Dengan pergi bersekolah, paling kurang mereka tidak tidur terus bersama mimpinya. Kalau pun tidak lagi punya mimpi tinggi, semoga pergi bersekolah adalah usaha untuk meninggalkan kenangan masa remaja.

Siapa tahu kelak di masa tua, sesama mereka yang pernah remaja akan bertemu lagi sebagai kepala desa. Siapa tahu mereka akan jumpa lagi di masa depan sebagai sesama Ketua BPD. Atau siapa tahu mereka bisa bersua lagi di masa datang sebagai sesama pengusaha kecil. 

Maka mereka harus punya kenangan bersama agar di masa tua bisa bekerja sama dan tidak saling melupakan seperti masa orang tua mereka dulu bukan?

Sumber foto: Dok. Pribadi

Sudah beberapa generasi mereka pergi bersekolah dengan cara seperti ini: naik perahu dan beramai-ramai. Kadang-kadang banyak dari mereka yang juga "sekedar menulis ulang" sejarah orang tua mereka, entah ayah atau ibu. Menulis ulang sejarah bahwa mereka hanya lulusan SMP.

Ya, sangat bisa jadi mereka meneruskan pekerjaan orang tua lagi, seperti mencari ikan, menanam padi, mencari madu atau berburu rusa di hutan. Lalu berkeluarga dan memiliki anak-anak yang lulusan SMP pula. Seolah saja hidup turun temurun berkubang dalam putaran siklus sejarah yang sama. Seolah saja ada jalan buntu sejarah yang mengawetkan pencapaian mereka pada satu fase historis yang sejajar.

Saya menduga begitu sebab memang sudah jarang, kalau bukan malah tidak pernah, mendengar mimpi yang tinggi lagi di sini. Kesulitan hidup harian dan kemiskinan yang seolah takdir itu memaksa mereka untuk memberi batas atas nasib dirinya sendiri. Keberanian untuk bermimpi memang turut dikondisikan oleh kondisi ekonomi hari ini.

Bukan berarti bahwa orang miskin tidak punya mimpi tinggi. Yang sekiranya penting dan menjadi pertanyaan besarnya adalah memeriksa kembali pendekatan pembangunan di era yang kini sedang melanjutkan fase konsolidasi regional dalam wujud blok-blok kerjasama ipoleksosbudhankam. Lebih khusus, dalam konteks Indonesia, adalah menagih realisasi janji dari visi Poros Maritim. Jangan sampai model pembangunan laut justru membelakangi sungai sebagai "jalur penyangga" sebagaimana dahulu konsentrasi pembangunan daratan yang juga mengabaikan sungai.

Karena bukan tidak mungkin,, siklus hidup yang mendera banyak warga desa-desa tepi sungai (al: lulusan SMP dan hidup bergantung pada ketersediaan sumber daya sungai dan hutan) sebenarnya adalah pantulan dunia sosial dari pembangunan yang mengulang siklus "membelakangi eksistensi sungai".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline