Saya mendaftarkan diri ke Kompasiana, lalu didata sebagai warga yang terverifikasi sejak 18 Februari 2013. Awalnya menjadi warga di Kompasiana dimulai dari sekedar rasa penasaran. Tapi seiring berjalan waktu, sifat sekedar itu ternyata memiliki konsekuensi yang “lebih dari sekedar penasaran”.
Saat itu, permulaan tahun 2013, di Tebet Barat, Jakarta. Saya penasaran dengan seorang teman yang selalu serius berhadapan dengan komputer kantor. Hanya berhenti kalau sudah waktu makan atau hendak mengaso : merokok, ngopi dan ngobrol. Saya terus saja penasaran, ngapain aja dia setiap hari, serius sekali.
Pada satu siang, saya bertanya padanya, “serius sekali, lagi ngapain sih?”. Dia terus mengangkat wajah, tersenyum, “Lagi liat-liat Kompasiana”, jawabnya sembari melanjutkan kesibukannya berselancar. “Kompasiana, itu barang apa lagi?”, tanya saya masih penasaran. “Ini blognya Kompas, banyak orang menulis di sini Bro”, jawabnya.
Saya lantas mendekat, duduk di sampingnya. “Oooh..bagaimana saya bisa terlibat di situ?”, bertanya saya makin antusias. “Bikin akun aja, terus mulai menulis, mudah”, jawabnya kemudian. Dari situlah, saya membuat akun dan mulai bersibuk hari dengan Kompasiana. Mulailah saya mempublish apa saja yang bekerja di dalam pikiran setiap tersedia kesempatan ketika ingin menulis. Bahkan ketika berada di pinggiran yang jauh dari Jakarta yang terburu-buru itu, seperti sekarang ini, asal tersedia jaringan internet yang cukup stabil, saya sempat-sempatkan menulis, apakah puisi pendek, apakah cerpen, atau pengalaman yang lebih faktual, seperti perjumpaan dengan keterbatasan hidup warga di sini atau hal-hal apa saja yang hendak saya tulis.
Bahkan, kalau lagi bernafsu sekali, dalam sehari, mungkin bisa menulis lebih dari sekali. Terserah deh mau diapain sama mbak/mas Admin. Saya hanya berusaha untuk ikut bercerita, ikut tersambung dan berbagi saja. Paling minim, buat koleksi sendiri, semacam catatan harian yang berkisah bahwa pikiran saya pernah tiba di sini, pernah berdiskusi soal ini, dan pernah buntu disini, pernah tersungkur di sana, pernah bangkit dan bergerak lagi di sini. Tapi, dari semua pergi, berdiri, tersungkur, dan bergerak bangkit lagi itu, semoga saja pergulatan pikiran untuk berbagi waras tidak pernah kenal menyerah.
Selain proses buntu-bergerak pikiran itu, dalam ber-Kompasiana, bukan tidak pernah saya merasa ingin berhenti, sebab kesal karena sebab-sebab teknis yang juga dikeluhkan banyak Kompasianer, atau karena merasa Kompasiana ini “tidak punya kelamin ideologi”. Ketika sudah tiba di titik ini, khususnya sebab kedua, pasti deh sibuk dengan dialog diri sendiri. Dalam proses mencari jawab atas alasan yang kedua itulah, tiba saya pada kesimpulan arti ideologis dan keberpihakan Kompasiana itu justru terletak kehadirannya yang merangkum semua jenis aliran yang tersalurkan melalui bermacam kanal. Ini sebuah positioning jurnalisme warga yang baik sekali di era yang serba campur sari tumpang tindih dan penuh duplikasi dimana-mana.
Kesimpulan ideologis yang seperti ini masih menjadi persoalan lagi. Bagaimana agar ia menjadi praktis ?
Ideologi tanpa daya dorong praktis, itu hanya akan menjadi pikiran-pikiran abstrak yang lari dari kenyataan, kalau bukan malah sekedar apalogi diri yang kosong. Maka, saya mencoba mencari turunan, mungkin juga tuntunan pribadi. Maka tersusunlah sebuah prinsip sederhana saja, selain berbagi dan bersambung yang sudah dipatrikan Kompasiana, hal ketiga yang ikut saya aminkan adalah menjaga kewarasan warga.
Pendasaran prinsip seperti ini buat saya penting, apalagi kalau dihadapkan dengan kecenderungan media massa mainstream merawat sensasi dan adu kecepatan dalam menyajikan informasi. Tiga prinsip tadi, berbagi, bersambung,dan menjaga kewarasan dari tulisan-tulisan warga biasa inilah yang selalu mengurapi ruang batin sepanjang bergiat di Kompasiana
Apakah terus dengan menemukan satu referensi ideologis dan turunan sikap praktis, maka gairah saya menjadi konstan dan konsisten seperti rindu yang subur pada pasangan yang baru saja bersepakat jadian?
Oh, tidak juga. Lantas alasan apalagi yang bisa dijadikan pegangan untuk memelihara prinsip praktis tadi : berbagi, bersambung, dan menjaga kewarasan. Kali ini, saya terus mengaca diri pada para sesepuh di Kompasiana. Saya sebut secara khusus saja, kalau ingat kontribusi sosok seperti pak Tjipta yang sudah sepuh namun bisa konsisten mempublish tulisan berkali-kali dalam satu hari dengan selalu memberi inspirasi, saya malu hati. Belum lagi rasa malu kepada yang lainnya, yang artikelnya sudah bejibun di sini.